Menurut pendapat para ahli filsafat dan pakar hukum, dari sekian banyak tujuan hukum diantaranya adalah untuk menciptakan keadilan, kepastian hukum, ketertiban, kemanfaatan (berguna), serta memberikan perlindungan atas segala hak-hak hukum bagi segenap warga masyarakat.
Demikian juga tujuan hukum dalam bentuk Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Undang Undang yang mengatur tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku sebagai hukum positif saat sekarang, adalah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU tersebut disebutkan dijelaskan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berlaku sekarang merupakan Delik Formil. Artinya bahwa adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.
Berbeda dengan pengertian Delik Materil, yaitu delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Rumusan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, adalah : Pasal 2 ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Penjelasan atas Pasal 2 Ayat (1) tersebut di atas yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat,(Pasal tersebut didakwakan kepada Tarudi Bin Warlan (Kuwu Tambak)).
Adapun Pasal yang didakwakan kepada Carsa adalah Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001. Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau,
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Dalam kasus Carsa, Pasal yang didakwakan oleh Jaksa KPK ancaman hukumannya pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Dengan demikian, vonis hakim yang dijatuhkan kepada Tarudi Bin Warlan (Kuwu Tambak) maupun kepada Carsa, tidak menyalahi ketentuan yang tercantum dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana yang penulis uraikan di atas.
Dalam setiap putusan pengadilan yang dirasakan tidak sesuai dengan aspek kedilan bagi terdakwa, dia bisa mengajukan upaya hukum banding. Sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab UU Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Namun untuk kasus Tarudi bin Warlan (Kuwu Tambak), menurut penulis, karena vonis hakim adalah hukuman minimal, maka andaikata banding (atau sampai kasasipun), tidak akan bisa mengubah hukuman di bawah 4 tahun penjara. Kecuali kalau nanti ditemukan bukti baru (novum), maka yang bersangkutan bisa mengajukan Peninjauan Kembali (PK; Herziening).
Seperti Carsa, konon tidak mengajukan banding atas vonis hakim, karena dia menganggap hukuman itu sudah sesuai dengan perbuatan pidana yang dilakukannya.
Lalu bagaimana dengan para pejabat yang saat ini berstatus sebagai TERSANGKA (SP, OMS, WP) yang terlibat dalam pusaran kasus tersebut?.
Berdasarkan bunyi Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001 di atas, disebutkan:
“Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”.
Dengan demikian, maka apabila para pejabat dimaksud dalam persidangan nanti didakwa dengan dakwaan Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001, ancaman hukumannya akan sama, yaitu minimal ancaman hukumannya pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Bagaimana kalau dakwaannya berbeda?
Dalam Pasal 12 B UU Nomor 20 Tahun 2001, disebutkan bahwa :
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Jadi, apabila Jaksa KPK tersebut nantinya mendakwa ketiganya dengan Pasal 12 B, maka ancaman hukumannya cukup berat, bisa pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Terlebih kalau ada tindak lanjut pengusutan tentang dugaan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU; Money Laundering), bahwa uang hasil tindak pidana korupsi tersebut digunakan untuk membeli aset, baik benda bergerak maupun benda tidak bergerak.
Selain itu, pihak KPK biasanya akan mengembangkan kasus-kasus tindak pidana korupsi, berdasarkan fakta-fakta yang muncul di persidangan.
*) Penulis adalah Pengamat Hukum Kabupaten Indramayu