Fokus NewsRegionalSupali Kasim, Impresionisme Sejarah Dalam Puisi

Supali Kasim, Impresionisme Sejarah Dalam Puisi

 acep 2Oleh: Acep Syahril *)
 
SEJAK lama saya sudah tidak lagi mengatakan pulang jika hendak ke rumah, tapi pergi ke rumah. Sebab pulang bagi saya adalah beban, beban terhadap diri saya sendiri selaku individual yang membawa-bawa ruh, hati, jiwa dan akal.
 
Pulang bagi saya adalah hasil dari suatu tindakan certain dan menjadi kepastian bagi diri saya untuk segera merubah dari yang sebelumnya tidak bermanfaat menjadi bermanfaat. Dari sebelumnya lalai menjadi tidak lalai, sebelumnya berprilaku kurang baik, tapi ketika pulang menjadi sedikit baik. Sebab kata pulang disitu adalah cerminan yang dalam bagi kehidupan saya untuk senantiasa merubah hal-hal yang kurang baik menjadi sedikit baik dan selanjutnya menjadi lebih baik.
 
Sebagai makhluk sempura dan individu yang memiliki keterbatasan saya sulit untuk kompromi dengan diri saya sendiri, ketika saya ingin pergi ke rumah dengan mengatakan pulang. Sementara dalam diri saya masih ada sifat-sifat buruk yang bermanfaat bagi diri saya sendiri tapi tidak bermanfaat bagi orang lain. Saya malu.
 
Sebab pengalaman pergi dan pengalaman pulang adalah sebuah penandaan bagi seseorang yang masih hidup, seperti halnya judul buku Supali Kasim,Pergi ke Masa Silam, Pulang ke Masa Depan (Sehimpun Puisi Sejarah). Artinya pegiat sejarah, penyair dan sekaligus guru ini memiliki segudang pengalaman hidup yang secara akademik dan empirik sulit dibantah ketika pengetahuan seseorang yang berhadapan dengannya pas-pasan.
 
Apalagi ketika Supali menyuguhkan seikat pengalaman batinnya yang dicetak dalam sebuah buku, buku yang bercerita tentang banyak hal yang dia katakan sebagai puisi sejarah, saya yakin Supali telah melakukan banyak hal untuk bercermin dari banyak teks tersebut yang kemudian dituangkan secara impresif dalam puisi-puisinya. 
 
Dari ke-Pergi-(an) ke Masa Silam, Pulang ke Masa Depan (PMSPMD) Supali Kasim menghasilkan 48 puisi dalam rentang waktu antara 2021  2022 sesuai titi mangsa yang terdapat dalam setiap akhir puisi. Karena disitu Supali Kasim sudah benar-benar berusaha pergi ke masa silam kemudian pulang ke masa depan dengan membawa banyak perubahan. Hal ini saya yakini sebagai tindakan kognitif yang berhasil menggugah kepekaannya sekaligus tindakan sempit (narrow action) yang memuluskannya untuk menyublimasi setiap ide atau gagasannya dalam bentuk puisi.
 
Tindakan sempit yang tidak hanya membutuhkan inspirasi sekelebatan tapi juga efek dari getaran akal setiap kali menangkap pernyataan atau keganjilan dari suatu peristiwa masa lalu yang secara imajinatif mampu menyadarkan intuisi kepenyairannya.
 
Dari batu jadi alat
jadi alat hasil mengamat
hasil mengamat dari mata
juga hati dan otak
 
Hati dan otak tak membatu
dari batu berpijar api
pijar api muncul besi
besi tak lagi batu
 
Tapi batu bolong bergua
gua bergambar-gambar
gambar-gambar hasil menghayat
meski hanya batu terlihat
 
Terlihat batu untuk tak terlihat
tak terlihat alam di bawah kubur
alam kubur tak terlihat
sulit ajar manusiapun tersesat
 
Dari batu jadi logam
dari logam jadi sinyal
sinyal kita kembali tersesat
kau dan aku berkepala batu
 
2021 
 
Repetisi dalam puisi Kembali Zaman Batu (halaman 93-94; PMSPMD) jika sekilas dibaca sulit untuk sampai pada apa yang diinginkan penyairnya, kecuali kalau dibaca lebih cepat dengan suara padat, maka yang dirasakan adalah mantra.
 
Puisi ini memiliki amanat peringatan dengan beban moril serta gambaran prilaku manusia antara zaman batu dan zaman sinyal. Dimana pada kenyataannya semakin terang dunia semakin tersesat manusia dan semakin jauh dari zaman batu semakin keras manusia dan bahkan semakin berkepala batu, kata Supali Kasim. 
 
Terlihat batu untuk tak terlihat
tak terlihat alam di bawah kubur
alam kubur tak terlihat
sulit ajar manusiapun tersesat
 
Neologisme dalam sebuah mantra adalah hal yang lazim digunakan, sekalipun bentuknya acak, seperti //terlihat batu/untuk tak/terlihat tak/terlihat alam/di bawah kubur/alam kubur/tak terlihat/sulit ajar/manusiapun tersesat//. ../kau dan aku berkepala batu//.
 
Puisi Tetap Menghidupi Indramayu
 
Menarik memang, lama saya merindukan penyair Indramayu yang saya ketahui lebih jeli dalam berkarya dan bahkan lebih jeli lagi dalam menilai atau menyambar lawan-lawan diskusinya. Dan itu sudah berlangsung sejak lama sampai kini. Artinya geriap kepenyairan Indramayu tidak pernah mati walaupun ada dikotomi di dalamnya, namun proses berkarya dan diskusi tetap memberikan warna dunia kesusastraannya.
 
Supali Kasim salah seorang penyair Indramayu yang memiliki akar kuat dalam dunia kepenyairannya. Dia tidak hanya menyimpan magma kata pada perpuisian, tapi juga sebagai pegiat sejarah, bahasa daerah dan budaya.
 
Hanacaraka ke Tenggara
 
Angin musim dan pelayaran 
arah tenggara 
kemarau membakar khatulistiwa
hujan dan gerimis menyubur tropis
semenanjung, teluk, laut, samudra
tapak india
jejak prasejarah
 
Angin musim dan pelayaran
juga dari tenggara
dayung diayun Indochina
perahu dilaju nusantara
pulau ke pulau, pesisir ke pesisir
menapak India
jejak siapa
 
Ajisaka mengawang hanacaraka
Dora dan Sembada mengeja datasawala
berdua padajayanya
menyusuk batu, tulang, logam
angin musim dan pelayaran
persahabatan dan peradaban
ikan-ikan memburu magabathanga
 
Angin musim dan pelayaran di tenggara
layar-layar terus berkibar
ke Kun-lun, Dvipantara atau Melayu pantai
layar bertulis aksara
si Sumatera, Sunda Jawa, Bali, Madura 2021.
 
Narasi padat dengan irama yang kuat pada puisi ini lebih mendepankan reportase sejarah masuknya aksara pallawa ke Indonesia, selain puisi yang ditulis Ajisaka setelah kematian dua orang abdinya Dora dan Sembada yang tewas dalam pertarungan atas perselisihan mereka sebelum mengantarkan pusaka Ajisaka. Puisi itu //Hanacaraka: ada dua utusan/Datasawala: keduanya terlibat perselisihan/Padhajayanya: mereka sama-sama berjaya dalam perselisihan itu/Maga bathanga: dan keduanya pun sama-sama menjadi mayat.// (INDONESIA.GO.ID-Fortal Informasi Indonesia. Perjalanan Huruf Palawa menjadi Aksara Jawa; Senin, 10 Agustus 2020)
 
Sementara keberadaan Ajisaka sendiri sampai kini masih jadi pertanyaan para sejarawan karena belum bisa mengungkap sosok sesungguhnya. Akhirnya banyak yang berkesimpulan kalau Ajisaka serta puisi yang ditulisnya masih dianggap mitos.
 
Kemahiran Supali Kasim dalam mengurai objek, gagasan serta pilihan diksi menjadikan setiap puisinya memiliki rangkuman data dari setiap persoalan yang dia usung. Sehingga pembaca dalam hal ini selain bisa diajak menikmati puisi-puisi impresifnya tentang berbagai sejarah dunia pembaca juga dapat memetik sumber bacaan dari sederet nama-nama orang, nama-nama negara, nama-nama tempat yang berhubungan dengan catatan masa lalu.
 
Berbeda dengan penyair Amerika, James Mercer Langston Hughes, yang lebih dikenal dengan puisi-puisi sejarah dengan gaya naratifnya yang tidak hanya mengangkat tema deportasi dan warisan, tapi juga tentang sejarah panjang diskriminasi budak kulit hitam. Sebagai sebuah perjuangan kemanusiaan melalui kekuatan kata untuk mengangkat keterpurukan orang-orang kulit hitam.
 
Orang Negro
Dengan terompet di bibirnya
Memiliki bulan-bulan kelelahan yang gelap
Di bawah matanya
Dimana memori membara
Dari kapal budak
Berkobar sampai retakan cambuk
Tentang barang-barangnya
 
Orang Negro
Dengan terompet di bibirnya
Memiliki kepala rambut yang cerah
Dijinakkan, Paten
kulit sekarang
Sampai bersinar
Seperti jet
Apakah jet adalah mahkota?
Musik
Dari terompet di bibirnya
Apakah madu?
Dicampur dengan
cairan api
Ritme
 
(Puisi: Pemain Terompet)
 
Puisi dengan tema sejarah Hughes kemudian menjadi sumber inspirasi bagi masyarakat kulit hitam Afrika  Amerika yang mampu mengangkat harkat kehidupan mereka. Dengan menelanjangi sejarah panjang orang-orang kulit hitam dari zaman kuno untuk menunjukkan bahwa Negro telah menjadi budak sejak lama, serta hal-hal luar biasa yang dibangun oleh mereka di masa lalu. (kumparan.com/potongan-nostalgia: Langston Hughes, Sastrawan Pecinta Kehidupan Orang Afro-Amerika, 17 Desember 2020). 
 
Artinya setiap karya sastra (puisi) masing-masing memiliki kekuatan isi dengan pilihan tema serta daya ungkap yang mampu mewakili diri si penyairnya. 
 
Jika Supali Kasim secara impresif memaparkan cuplikan-cuplikan sejarah perjalanan panjang dunia tentang zaman dan peradaban manusia dengan berbagai penandaan waktu, angka, benda-benda, nama-nama orang, nama-nama negara, nama-nama kerajaan, laut dan pulau-pulau. Maka Hughes melalui puisi-puisi naratifnya menjadi sebuah perjuangan dengan harga mati untuk menunjukkan keberadaan warga kulit hitam ke mata dunia.
 
*) Penulis adalah Penyair dan Pemerhati Budaya
 
ads

Baca Juga
Related

Polsek Balongan Amankan Ratusan Botol Miras

BALONGAN,(Fokuspantura.com),– Jajaran Polsek Balongan berhasil mengamankan ratusan botol minuman...

Kades Karangampel Ungkap Maraknya Jambret kepada Kapolres Indramayu

INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Dalam suatu tanya-jawab pada rangkaian acara kunjungan Kapolres...

Rayakan Proklamasi RI, Pemdes Karanglayung Bakal Gelar Semarak Lomba

INDRAMAYU, ( Fokuspantura.com),- Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) RI...

Rakor Perkuat Ketahanan dan Tata Kelola Pembangunan Desa

JAKARTA,(Fokuspantura.com),- Rapat Koordinasi (Rakor) Penguatan Ketahanan Masyarakat dalam Pembangunan...
- Advertisement -

FokusUpdate

Popular

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu