Oleh : Mahfudin Samlawi *)
BAHAS issu politik dengan segala turunannya akan selalu menarik bagi kalangan pengamat dan analis politik. Apalagi percakapan issu politik yang penuh intrik. Diperagakan dengan gaya dagelan stand up comedy yang menggelitik. Narasi interpelasi yang “ngeri-ngeri sedap” meminjam diksi H. Adlan Daie (Kreator Jabar, 13 Januari 2022) – yang dibangun di atas argumentasi yang kurang menarik dan logika yang jungkir balik. Sehingga publik mempertanyakan maksud dan tujuan digulirkannya salah satu hak DPRD dalam domain fungsi pengawasan dalam bentuk interpelasi. Dan sudah ditandatangani oleh 38 Anggota DPRD Kabupaten Indramayu berdasarkan daftar hadir pada saat rapat paripurna hari Kamis tanggal 13 Januari 2022 (Fokuspantura.com, 13 Jan 2022).
DPRD Kabupaten Indramayu yang selama ini terkesan adem ayem dan diam seribu bahasa seolah-olah tutup mata dan telinga sejak rezim eksekutif berganti warna dari oligarki kuning (Golkar) ke rezim merah (PDIP). Sementara DPRD masih dalam dominasi rezim Golkar. Saat ini dengan bergulirnya wacana interpelasi yang dipantik oleh vokalis dewan anggota (mungkin anggota termuda) di jajaran anggota DPRD Kabupaten Indramayu, seorang aktivis perempuan justru dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) ANGGI NOVIAH. Suara DPRD Kabupaten Indramayu seolah terlihat dan menunjukkan “taring” kekuasaanya.
Ketua DPRD dengan anggota fraksinya dari Partai Golkar yang mendominasi kursi DPRD Kabupten Indramayu dengan jumlah 22 kursi dibandingkan dengan suara partai pengusung utama bupati yaitu PDIP dengan 7 kursi, tidak mampu mengaktualisasikan sebagai lokomotif bagi anggota DPRD lainnya dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap kinerja bupati. Sikap Ketua DPRD ini menimbulkan sekurangnya tiga pertanyaan : apakah ketidakmampuan dan atau ketidakmengertiannya terhadap tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota atau sebagai Ketua DPRD, karena faktor kesibukannya lebih mengurusi soal-soal lain, selain tugas utamanya sebagai Ketua DPRD atau tutup mata dan telinga karena ada deal-deal politik dengan bupati ?
Bergulirnya usul (wacana) hak interpelasi DPRD Kabupaten Indramayu yang dipantik oleh keberanian sikap politik anggota DPRD Anggi Noviah dari Fraksi PDIP menunjukkan sikap keberanian dan keterbukaan sikap politik elit PDIP terhadap kadernya sendiri yang “didudukkan” sebagai bupati. Bupati Nina Agustina sebagai “petugas partai” dalam pengambilan kebijakan-kebijaknnya yang cenderung “semau gue” (apa jare dewek bae), tanpa mengajak bicara dengan pimpinan partai yang mengusungnya adalah salah satu variabel keberanian sikap politik Anggi Noviah sebagai otokritik pada kinerja bupati Nina Agustina. Dapat dibaca bahwa sikap Anggi Noviah ini telah mendapat restu dari pimpinan partainya.
Patut untuk diapresiasi terhadap usul (wacana) hak interpelasi ini, karena memang inilah yang seharusnya dilakukan oleh DPRD dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) sebagai kewajiban yang melekat untuk mengontrol tugas dan kinerja eksekutif. Bukan hanya sebatas pada lagunya Iwan Fals yang hanya datang, duduk, dengar, ngantuk, dan setuju saja, lantas mendapat gaji dan fasilitas dari pajak rakyat tanpa pembelaannya terhadap kesengsaraan rakyat akibat efek pandemi Covid 19 yang berkepanjangan tanpa kejelasan.
Akan tetapi patut pula dipertanyakan terhadap penggunaan hak interpelasi ini, karena landasan pijak penggunaan hak interpelasi yang kurang memadai dari aspek landasan etis dan basis aspirasinya. Dari aspek legal based nya memang kuat karena ada regulasi yang mengatur yang menjadi hak melekat pada anggota DPRD terkait fungsi pengawasan. Sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang MD3.
DPRD mempunyai hak terkait fungsi pengawasan yaitu : pertama, Hak interpelasi, adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada Gubernur/Bupati/Walikota mengenai kebijakan Pemerintah Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kedua, Hak angket adalah hak DPRD untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan Pemerintah Daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, Hak Menyatakan Pendapat adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan Gubernur/Bupati/Walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Dari definisi ketiga hak DPRD terkait fungsi pengawasan tersebut, maka sudah bisa dibaca kemana arah dan apa target akhir dari pelaksanaan fungsi interpelasi ini. Hasil dari pelaksanaan hak interpelasi tidak secara serta merta dapat dilaksanakan, akan tetapi harus ditindaklanuti lebih lanjut dengan penggunaan hak berikutnya yaitu Hak Menyatakan Pendapat. Maka penggunaan Hak Interpelasi bagi rakyat dan pengamat adalah sebatas pada penggunaan hak dewan untuk tidak tinggal diam atas buruknya kinerja eksekutif. Efektifitas penggunaan hak interpelasi dapat merujuk dan mengambil referensi DPRD Kabupaten Garut dalam melengserkan Bupati Aceng Fikri.
Penggunaan Hak Interpelasi ini kalau ujungnya tidak menurunkan Bupati Nina Agustina dari jabatannya karena tidak menjalankan peran sebagai petugas partai, maka interpelasi ini hanya bagian dari STAND UP COMEDY.
Wallohu a’lam bisy-syowab.
*) Penulis adalah Rakyat biasa, pernah jadi anggota DPRD Kab. Indramayu priode 2004-2009 Ketua Fraksi Partai Golkar, tinggal di Indramayu.
Terkait