Oleh : Agung Wardana*)
Di pengujung 2017 lalu, Minggu (17/12/2017), kembali terjadi penangkapan atas tiga orang yang tengah berjuang mempertahankan ruang hidupnya. Mereka (Sawin, Nanto, dan Sukma, warga Desa Mekarsari, Indramayu, Jawa Barat) dituduh melakukan tindak pidana penghinaan terhadap bendera negara.
Kalaupun tindakan itu benar mereka lakukan, meski banyak yang meragukan, penangkapan terhadap diri mereka ini tak mungkin terjadi dan menjadi hal yang serius jika tidak ada motivasi strategis di balik tuduhan politis ini. Sulit untuk tidak menghubungkan tuduhan tindak pidana itu dengan aktivitas penolakan mereka terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Indramayu yang berlokasi di desa mereka.
Kejadian yang menimpa warga Indramayu itu menambah deretan upaya pembungkaman terhadap pembela lingkungan. Sebelumnya, di Jawa Timur, Heru Budiawan, yang melawan pertambangan emas Tumpang Pitu Banyuwangi, ditahan dengan dugaan memasang spanduk bergambar mirip lambang komunisme. Di Bali, Made Wijaya, tetua adat Desa Pakraman, Tanjung Benoa, yang menjadi ujung tombak penolakan pembangunan megaproyek reklamasi Teluk Benoa, baru-baru ini divonis satu tahun penjara oleh hakim PN Denpasar dengan dakwaan merusak kawasan konservasi. Di Jawa Tengah, Joko Prianto juga berhadapan dengan tindakan represif negara melalui mekanisme hukum pidana karena aktivitasnya menolak pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.
Kasus-kasus pembungkaman, yang dalam kepustakaan hukum lingkungan dikenal dengan nama SLAPP (strategic lawsuit against public participation), di atas tidak bisa dilihat secara terpisah. Ada gambaran penting yang bisa dilihat bagaimana SLAPP ini diduplikasi dari satu kasus ke kasus lain.
Fenomena ini juga menunjukkan adanya permasalahan pada rezim hukum lingkungan kita dalam melindungi setiap orang yang berjuang mempertahankan lingkungan dan ruang hidupnya dari proyek pembangunan. Harus diakui bahwa UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) memang telah memberikan jaminan perlindungan pada Pasal 66. Namun, kenyataannya di tataran praktis perlindungan terhadap pembela lingkungan dapat dikatakan tidak memiliki implikasi signifikan.
Anti-SLAPP Dan Parsialitas Negara
Sebuah laporan PBB tahun 2007 menyatakan bahwa pembela lingkungan merupakan kelompok pembela HAM yang kedua paling rentan setelah pembela hak-hak perempuan. Mereka berhadapan dengan korporasi yang sering kali memiliki sumber daya dan jaringan kuat dengan aparat negara ataupun kelompok vigilante—main hakim sendiri, sehingga banyak ancaman bagi mereka terima; mulai dari kekerasan, kriminalisasi dan pembatasan kebebasan, hingga pembunuhan. Menurut Global Witness, secara global pada 2014 saja setidaknya terjadi 166 pembunuhan terhadap pembela lingkungan yang terdokumentasi, dua di antaranya di Indonesia.
Besarnya risiko bagi pembela lingkungan juga menjadi latar belakang dimasukkannya aturan tentang anti-SLAPP dalam UU PPLH. Aturan ini merupakan upaya melawan SLAPP terhadap setiap orang yang berjuang untuk kelestarian lingkungan.
Bahkan pengaturan anti-SLAPP dalam UU PPLH dapat dikatakan cukup progresif karena memperluas lingkup aslinya, dari strategic lawsuit menjadi strategic litigation. Jika awalnya SLAPP dimaknai sebagai strategi pembungkaman melalui mekanisme ’gugatan’ (’lawsuit’) di ranah hukum perdata, dalam UU PPLH makna SLAPP diperluas ini menjadi ’litigasi’ (’litigation’) yang mencakup hukum perdata dan pidana. Hal ini penting mengingat dalam konteks Indonesia, pembungkaman atas pembela lingkungan cenderung dilakukan menggunakan mekanisme hukum pidana.
Jika pengaturan aturan anti- SLAPP sudah sedemikian progresif, mengapa justru SLAPP terus terjadi dan cenderung meningkat. Sejatinya, masalahnya tidak hanya terletak pada lemahnya pemahaman penegak hukum atas hukum lingkungan, alasan institusional yang banyak diungkapkan oleh pengamat terkait lemahnya penegakan hukum lingkungan di negeri ini. Lebih mendasar dari itu, menurut penulis, kasus-kasus SLAPP di Indonesia memperlihatkan kecenderungan adanya keberpihakan (parsialitas) negara melalui aparaturnya kepada korporasi, baik langsung maupun tidak langsung.
Relasi Yang Tak Seimbang
Di negara-negara liberal yang menjunjung tinggi hak kepemilikan individual, strategi kriminalisasi pembela lingkungan biasa menarget tindakan pidana terhadap barang milik (crimes against property) yang merupakan domain privat, misalnya trespassing. Dalam hal ini, korporasi sebagai pemilik barang melaporkan pembela lingkungan karena telah mengganggu integritas kepemilikan individu.
Di Indonesia, tindakan pidana yang jadi obyek SLAPP biasanya merupakan tindak pidana terhadap ketertiban umum, misalnya penodaan terhadap bendera atau penyebaran ajaran komunisme. Tafsir atas ”ketertiban umum” merupakan monopoli negara melalui aparat penegak hukumnya sehingga upaya SLAPP menggunakan alasan ”ketertiban umum” secara politis menunjukkan keberpihakan negara atas kepentingan modal.
Pada 2013, Mahkamah Agung mengeluarkan keputusan Ketua MA tentang pedoman penanganan perkara lingkungan hidup. Di dalamnya, anti-SLAPP menjadi salah satu bahasan dengan penegasan bahwa ada atau tidaknya dugaan SLAPP terhadap seorang pembela lingkungan harus diputuskan terlebih dahulu melalui putusan sela. Alih-alih menghentikan upaya SLAPP dari tahap penyidikan, pembela lingkungan yang jadi korban SLAPP harus tetap menjalani proses hukum untuk membuktikan bahwa ia telah menjadi korban SLAPP di depan persidangan.
Penegasan ini tentu saja kontraproduktif dengan semangat diadopsinya aturan anti-SLAPP sendiri. Sebenarnya, upaya SLAPP tidak dimaksudkan untuk membuktikan benar atau tidaknya tindak pidana yang dituduhkan kepada pembela lingkungan yang jadi target. Namun, tujuan utama SLAPP adalah upaya strategis guna menghambat atau bahkan menghentikan perlawanan atas sebuah proyek pembangunan dengan jalan membawa fokus perlawanan ke persidangan pidana/perdata dan kemudian menguras energi serta sumber daya yang dimiliki kelompok penentang. Alhasil, perlawanan atas proyek pembangunan yang menjadi masalah utamanya jadi melemah dan bahkan menghilang.
Kehadiran negara dalam kasus-kasus lingkungan hidup saat ini justru sering kali problematik. Alih-alih sebagai pemberdaya posisi masyarakat yang cenderung lebih lemah ketika berhadapan dengan korporasi, kehadiran negara justru sebagai pemain yang membuat relasi kuasa dalam konflik semakin tidak seimbang. Alhasil, kriminalisasi atas masyarakat yang berjuang membela ruang hidup dan lingkungannya di tahun ini masih akan menjadi catatan di tahun-tahun mendatang. Semoga saya salah….
*) Penulis adalah Dosen Departemen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada