MOBILISASI pernyataan protes di media massa oleh keluarga besar NU Indramayu terhadap pernyataan Bupati Indramayu Nina Agustina dalam vidio pendek saat kunjungan di Desa Pagedangan Kecamatan Tukdana yang menyebut “provokator” terhadap H.Juhadi yang saat ini sebagai Ketua PCNU Kabupaten Indramayu, menjadi perbincangan hangat di sela sela perbincangan kultum Ramadhan, persiapan lebaran idul fitri dan ditengah kondisi kegelisahan rakyat efek Covid-19.
Pernyataan sikap, protes atau tuntutan keluarga besar NU Kabupaten Indramayu yang cenderung dimobilisasi dan diviralkan terkait ungkapan “provokator” oleh Ibu Nina Agustina selaku Bupati Indramayu yang merupakan pejabat publik patut dicermati dan menjadi bahan kajian baik dari aspek hukum, etika, komunikasi publik, maupun aspek sosial politiknya. Padahal fakta dalam video tersebut ditemukan dua obyek pengucap Juhadi dan Provokator oleh dua orang yang berbeda dalam percakapan dan tidak ditemukan kalimat tegas mengarah pada tuduhan Ketua PC NU Indramayu.
NU sebagai Jam’iyah dalam perspektif penulis dan yang dipahami oleh para aktivisnya adalah bukan hanya sebagai organisasi keagamaan “terbesar” di Indonesia, akan tetapi juga ia sebagai kekuatan “civil society” yang bergerak dalam aspek amar makruf nahyi mungkar, dan issu besar tentang keadilan sosial. Bergerak dalam perjuangan membela kemanusiaan, keIslaman dan KeIndonesiaan. Wabil khusus pembelaan terhadap kaum minoritas pada semua aspeknya terhadap kedzoliman penguasa. Atau pembelaan terhadap kaum pinggiran yang tertindas dan teraniaya atas hegemoni dan dominasi kekuasaan baik materi maupun sosial politik.
Ungkapan “provokator” oleh Bupati Nina Agustina secara hukum apakah bisa dituntut ? Oleh pendapat awam dan simple maka jawabanya bisa dituntut, akan tetapi dalam pandangan praktisi apakah ungkapan “provokator” baik dipahami secara tekstual maupun juga dipahami konteksnya, apakah terpenuhi unsur unsur dalam norma pasal yang akan dituntut atau disangkakan terhadap subyek hukum yang dituntut ?, maka butuh kajian dan pertimbangan yang Mendalam, namun tidak terpenuhi unsur pencemaran nama baik atau penerapan pasal apapun, sehingga dalam prakteknya susah dibuktikan. Sama halnya dalam kasus Boyolali seperti ungkapan Prabowo Subianto kepada Joko Widodo dalam ungkapan “Tampang Boyolali”. Jokowi tidak melakukan upaya hukum tetapi orang atau warga masyarakat boyolali yang merasa tersinggung yang melakukan tuntutan hukum atas pernyataan Prabowo Subianto tersebut, dan pada akhirnya perkara ini kita tahu dimana ujungnya karena tidak terpenuhi unsurnya.
Sementara secara etik, dimana norma ini menjadi ruh dari norma hukum positif, memaknai ungkapan “provokator” oleh siapapun apalagi pejabat publik dinyatakan secara verbal di muka umum sangatlah tidak elok. Namun lagi – lagi tidak ditemukan sambungan legitimasi frasa “provokator” dengan seorang tokoh publik (Juhadi red). Maka istilah pejabat publik versus tokoh publik barangkali nuansa ini yang menjadi bahan gorengan para politisi dan aktifis lokal untuk “bargaining positions” mendapatkan posisi.
Dalam perspektif komunikasi publik, ungkapan semacam ini jika ditilik secara fair dalam bahasa pergaulan komunitas lokal indramayu, ungkapan berbau “sarkasme” ini sesuatu yang lumrah dan bisa dikatakan menjadi bahasa “kedekatan” hubungan pergaulan yang bersangkutan. Ungkapan-ungkapan atau kata-kata nama “binatang” (tidak elok juga untuk disebut secara vulgar) menjadi tanda “kedekatan atau keakraban” diantara sesama warga atau teman dan sahabat di Indramayu.
Dalam imaji penulis ketika berbincang dengan tokoh NU, dan bagi yang mengenal tokoh penguasa Indramayu sejak tahun 2000, maka ungkapan “provokator” dalam kunjungan di lapangan dan dikelilingi oleh para pejabat terkait di sampingnya, maka saat ungkapan tersebut terlontar secara spontan, bisa dipastikan akan diiringi dengan gelak tawa yang riuh. Sehingga akan memudarkan atau tidak menimbulkan sensitivitas ketersinggungan pihak pihak tertentu. Barangkali di point komunikasi publik ini Bupati Nina perlu “pengayaan” sebagai bentuk muhasabah.
Bupati adalah jabatan publik, seorang pejabat yang dipilih dalam suksesi kepemimpinan politik dengan legitimasi konstitusional. Bukan pejabat teknokratis dan robot birokratis yang ditunjuk. Apalagi tugas dan tanggungjawab kepemimpinan bupati tidak cukup sekedar urusan administrasi birokrasi, memimpin upacara, memutasi birokrat, mengutak atik proyek, membaca teks sambutan yang miskin narasi, menggunting pita, selfi-sefli bergaya narsis, sawer di acara hiburan dan lain-lain hal yang bersifat formal belaka.
Sejenak mengingatkan, kepemimpinan menurut Michael H. Hart dalam bukunya The 100 : A Ranking Of The Most Infuential Persons In History tentang 100 tokoh paling berpengaruh dalam sejarah peradaban dunia, adalah menggerakkan harapan dan optimisme kolektif untuk meraih masa depan rakyat yang dipimpinnya, mempengaruhi sistem kerja birokrasi dan menggairahkan partisipasi publik secara transformatif.
Kepemimpinan dalam perspektif diatas selain aspek kredibilitas personalnya harus bersih, jujur dan amanah, setidaknya harus memiliki:
Pertama, vision : memiliki kemampuan diri untuk menggambarkan, menjelaskan dan meyakinkan instrument bawahannya dan khalayak publik tentang masa depan bersama yang hendak diwujudkannya.
Kedua, influential power : memiliki pengaruh kendali dan kuasa yang tidak hanya bersandar pada diskresi kewenangannya melainkan melekat dalam “inner power” personalnya.
Ketiga, self confidence: memiliki kepercayaan diri untuk bertindak dengan mengaktifkan akal sehat politiknya.
Keempat, moving communication : mempunyai ketrampilan komunikasi dan narasi politik yang menggerakan dan meyakinkan. Bukan pembaca teks sambutan yang miskin narasi dan membuat kegaduhan publik. Dipoint ini pejabat publik pada praktek kelaziman menggunakan atau memfungsikan seseorang untuk bertindak atas nama dirinya untuk mengkomunikasikan narasi publik, apa yang kita kenal dengan sebutan “juru bicara”.
Harapan penulis, semoga Bupati Nina Agustina memiliki dan mampu mewujudkan karakter kepemimpinanya selama menjabat Bupati Indramayu dan mampu menyelesaikan setiap persoalan secara tepat dan elegan, baik pada kontek sesama warga NU dan sesama warga Indramayu dimana keduanya antara Bupati Nina Agustina dan Ketua PCNU H. Juhadi Muhammad adalah pada satu barisan perjuangan yang sama yakni mewujudkan perubahan Indramayu yang lebih baik. Semoga keduanya akan mampu menyelesaikan soal komunikasi ini secara Islami. Insya Alloh.
Wallohu a’lam bisy-syowab. Semoga ada manfaatnya.
*) Penulis adalah Mantan Aktifis PMII