PEMILIHAN UMUM di Indonesia saat ini masih menjadi kajian khusus pejuang demokrasi, melalui kajian jurnal ini akan membahas mengenai sistem pemilihan umum legislatif di Indonesia yang menggunakan sistem proporsional terbuka, baik pemilihan anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten kota yang saat ini masih menjadi polemik di internal partai politik, dengan sistem ini para pimpinan partai politik akan merekrut calon Anggota DPR atau DPRD yang memiliki modal, sehingga hal tersebut akan membuat kecemburuan social di internal kader partai yang sudah mengabdikan diri lama di partai politik tersebut. System proporsional terbuka memberikan pertarungan bebas kepada calon anggota legislatif untuk memperoleh suara sebanyak- banyaknya. Hal ini membuka peluang bagi para pimpinan partai politik untuk mencalonkan figure politik yang memiliki popularitas, elektabilitas dan kemapanan ekonomi untuk modal politik dalam pertarungan pemilihan umum legislatif.
Pendahuluan
Pemilihan umum merupakan alat untuk memperoleh sebuah kekuasaan dan instrument yang paling penting. Pelaksanaan pemilihan umum, partai politik merupakan pilar utama dalam mewujudkan demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa partai politik, perlu kita ketahui bersama Indonesia merupakan negara yang sudah berkali kali menjalankan pemilihan umum, dari masa ke masa hingga pemilihan umum terakhir pada tahun 2019.
Perkembangan demokrasi dalam hal ini pemilihan umum di Indonesia, memberikan pengaruh yang baik bagi perkembangan kehidupan perpolitikan bangsa dan negara. Hal ini merupakan hasil dari evaluasi sistem pemilihan umum dari waktu ke waktu.
Perlu kita ketahui Bersama, saat ini partai politik di Indonesia semakin berkembang dan maju, selain itu partai politik di Indonesia sudah mulai beralih dari partai politik yang tertutup menjadi partai modern dan terbuka.
Partai politik dalam pemilihan umum legislatif memberikan kekuasaan mutlak untuk mencalonkan siapapun yang akan menduduki kursi parlemen. Namun demikian keputusan partai politik dalam mencalonkan anggota di parlemen dipengaruhi oleh sistem pemilihan umum yang ada pada hari ini, sistem pemilihan umum legislatif saat ini menggunakan sistem proporsional terbuka, artinya partai politik menyerahkan beberapa nama calon yang akan menduduki kursi parlemen kepada penyelenggara pemilu. Dan setelah terdaftar sebagai peserta pemilu calon calon dari anggota partai politik tersebut bertarung secara bebas untuk memperoleh suara sebanyak banyaknya, dengan demikian proses pemilihan legislatif menjadi suatu trand demokrasi di internal partai “Popularitas, Elektabilitas dan Isi Tas” hal ini memberikan paradigme bahwa calon anggota legislatif dengan pertarungan bebas harus memiliki tiga komponen diatas.
Popularitas merupakan modal utama seseorang untuk mencalonkan sebagai wakil rakyat, namun popularitas saja tidak menjamin dirinya akan terpilih, maka dari itu adanya komponen kedua yaitu elektabilitas, dalam hal ini eletabilitas merupakan kunci atau syarat ke dua jika kita ingin menduduki kursi legislatif, memiliki popularitas dan elektabilitas saja tidak cukup dalam pertarungan politik legislatif, maka dari itu ada unsur ke tiga yaitu Isi Tas, apa yang dimaksud dengan isi tas ? Isi tas di artikan sebagai modal atau cosh politik, hal ini memberikan peluang penuh bagi calon anggota legislatif untuk di calonkan sebagai calon anggota dewan.
Pertarungan calon legislatif tidak selesai hanya dalam partai politik saja, melainkan dengan eksternal partai politik juga, perlu kita ketahui bersama setelah calon anggota legislatif lolos dalam verifikasi KPU, mereka akan bertarung dalam masyarakat hal ini yang akan membuat setiap calon anggota legislatif mempertaruhkan segalanya agar mereka terpilih sebagai anggota legislatif dengan menggunakan system kampanye yang dianggap mereka akan menarik simpati masyarakat. Perlu kita ketahui bersama, kecurangan dalam sistem pemilu saat ini sudah dianggap tidak aneh lagi, misalnya calon anggota DPR ada yang menggunakan “Mahar Politik” agar mereka di pilih oleh rakyat, mereka berlomba ada yang membagikan sembako, ada yang membagikan uang, atau hal apapun agar menjadikan mereka terpilih, sehingga dengan demikian cosh politik calon anggota DPR/DPRD tersebut mahal dan diluar batas. Hal ini menyebabkan demokrasi politik kita menjadi mahal.
Sistem proporsional terbuka dalam pemilihan legislatif memberikan dinamika yang hangat di internal partai politik, hal ini di sebabkan karena banyaknya calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik dari luar kader internalnya dari berbagai latar belakang dan profesi. Dengan pertarungan terbuka tersebut, kader partai yang tidak memiliki cukup banyak uang tidak akan diberikan tiket menuju senayan, dengan demikian pimpinan partai akan lebih senang mencalonkan calon anggota legislatifnya dari kalangan artis atau pengusaha, Misalnya dalam Pemilu Legislatif 2019 lalu, PDI Perjuangan mengusulkan beberapa artis seperti Krisdayanti, Agustina H (TinaToon) Angel Karamoy, yang dinilai oleh kader internal partai adalah mereka orang baru yang belum memahami kepartaian, apalagi PDI Perjuangan merupakan kader ideologis, sehingga calon anggota legislatif tidak boleh sembarang orang. Meskipun ada AD ART Partai berdasarkan keputusan Kongres, yang menyatakan dimana setiap kader yang akan menduduki sebagai calon anggota DPR, harus mendapatkan persetujuan dari beberapa anggota pengurus partai dan dengan catatan mereka adalah kader partai yang sudah mengabdi paling sedikitnya 5 tahun. Namun tetap saja tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk lolos sebagai Caleg. Hal ini menjadi kritik dan respon keras dari berbagai kader partai, namun dikarenakan sistem pemilihan legislatif adalah sistem proporsional terbuka, kader partai yang sudah mengabdi lama harus mengikhlaskan tiket emas pencalonan anggota DPR jatuh pada kader partai yang baru. meskipun mereka tidak memahami sepenuhnya ideologi partai yang ada.
Dengan demikian pertarungan politik menjadi semakin bebas dan mahal, namun sisi positif dari sistem pemilu proporsional terbuka juga memberikan peluang kepada masyarakat untuk memilih siapa calon yang dianggap pantas untuk mewakili mereka, dan masyarakat diberikan kesempatan yang bebas untuk menentukan wakil rakyatnya, hanya saja di era modern ini, banyak masyarakat Indonesia yang terkadang memilih anggota DPR dengan catatan khusus misalnya berdasarkan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Hasilnya, 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019 tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sementara itu, 37 persen lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih. Hasil survei tersebut dikutip dari Kompas.com menjelaskan masyarakat Indonesia menganggap politik uang bagian dari demokrasi dan hal itu dianggap wajar oleh sebagian masyarakat, dengan demikian masyarakat kita belum memahami betul tentang demokrasi yang sebenarnya, padahal jika calon anggota DPR yang terpilih dengan mengeluarkan modal banyak maka mereka akan berusaha mati matian untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan, bukan bagaimana mewakili suara masyarakat yang dipilihnya.
Dinamika pemilihan umum sistem proporsional terbuka menjadi kajian unik untuk terus dibahas, karena mau bagimanapun sistem demokrasi kita bukan demokrasi kapitalistik melainkan demokrasi pancasila, dimana sistem pemilihan umum harus bersifat jujur dan adil, serta penegakan pengawasan pemilu yang dianggap masih lemah menjadi bahan pola dimana sesuatu yang dianggap salah tetapi tetap membudaya di masyarakat, evaluasi sistem pemilihan umum harus menjadi tema yang serius untuk menuju Indonesia yang berdaulat, bahkan polemik tentang sistem proporsional terbuka memberikan keluluasaan khusus bagi penyelenggaran pemilu dan partai politik untuk beratrung secara terbuka dan bebas. Hal ini juga perlu banyak kajian, apakah hasil dari pemilihan umum legislatif sistem proporsional terbuka memberikan dampak positif bagi masyarakat, apakah mereka sudah mewakili aspirasi masyarakat yang memilihnya. Atau sebaliknya setelah pemilihan umum usai, anggota DPRD justru menghindar dari masyarakatnya. Hasil pemilihan umum menjadi evaluasi nasional dan harus di perbaiki tata cara serta peran partai politik yang sejauh ini hadir ketika mendekati pemilihan umum.
Polemik sistem proporsional terbuka dalam internal partai politik sendiri menjadi masalah dimana internal kader partai yang sudah lama mengabdi dan memiliki dedikasi yang baik, mampu tergeser dengan orang orang baru yang hanya memiliki sebuah modal semata. Hal ini tidak memberikan efek positif bagi partai politik, dikarenakan calon yang terpilih tersebut merasa besar akan dirinya sendiri bukan karena partai, sehingga visi partai politik yang baik sulit di implementasikan di dalam parlemen.
Rumusan Masalah dalam kajian analisis jurnal ini adalah, Bagimana Peran Partai Politik dalam Mewujudkan Sistem Pemilu Proporsional terbuka yang berintegritas ?
Tujuan Penelitian dalam jurnal ini adalah menggambarkan bagaimana peran partai dalam mengawal calon anggota legislatif untuk mewujudkan sistem proporsional terbuka yang berintegritas.
Kajian Teoritis
Melihat dari pendahuluan artikel ini akan ada beberapa kajian teoritis yang menjadi dasar landasan akademis.
Pemilihan umum Menurut Samuel P. Huntingtong adalah “Sebuah sistem politik sudah dapat dinyatakan demokratis bila para pembuatan keputusan kolektif, yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala dan dalam pemilihan itu semua calon bebas bersaing, untuk memperoleh suara dan semua penduduk dewasa berhak memberikan suara”
Pernyataan Samuel P Huntintong tersebut memberikan definisi bahwa pemilihan umum akan ada disuatu negara yang menganut sistem demokrasi adapun proses dari pemilihan umum merupakan suatu kompetisi antar calon untuk memperoleh hati konstituennya, sehingga suara yang dihasilkan mendapatkan perolehan secara maksimal. Selain itu ada beberapa pengertian pemilihan umum secara konseptual dan secara oprasional. Menurut Ibnu tri cahyono (Dr Muhadam Labolo, 2015) pengertian pemilihan umum secara konseptaul yaitu“Pemilihan umum merupakan suatu instrument untuk mewujudkan kedaulatan rakyat, yang bermaksud untuk membentuk pemerintahan yang absah, serta sarana untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat”
Secara umum, sistem pemilihan umum berkisar pada dua konsep pokok. Perbedaan diantara dua konsep tersebut terletak pada cara menghitung perolehan suara dapat menghasilkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing-masing partai politik. Kedua konsep tersebut, yakni:
- Single-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik). Sistem distrik merupakan sistem pemilihan tertua dan didasarkan pada kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis, memperoleh satu kursi dalam parlemen. Sehingga di dalam sistem ini, untuk keperluan negara dibagi dalam sejumlah besar distrik pemilihan yang kira-kira sama jumlah penduduknya. Dalam sistem ini, satu wilayah kecil memilih satu wakil tunggal atas dasar pluralitas (suara terbanyak). Sehingga dalam sistem distrik ini, satu distrik menjadi bagian dari suatu wilayah, satu distrik hanya berhak atas satu kursi dan kontestan yang memperoleh suara terbanyak menjadi pemenang tunggal. Hal ini dinamakan The First Past The Post (FPTP). Hal ini terjadi sekalipun selisih suara dengan partai lain hanya kecil saja.
- Multi-member Constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya Sistem Perwakilan Berimbang atau Sistem Proporsional). Dalam sistem ini, satu wilayah besar memilih beberapa wakil. Dalam sistem proporsional, satu wilayah dianggap sebagai satu kesatuan dan dalam wilayah itu jumlah kursi dibagi sesuai jumlah suara yang diperoleh oleh para kontestan, secara nasional, tanpa menghiraukan distribusi suara itu.
Selain dua konsep diatas, terdapat varian lainnya dalam pemilihan umum, diantar Block Vote (BV), Alternative Vote (AV), sistem Dua Putaran atau Two-Round System (TRS), Sistem Paralel, Limited Vote (LV), Single Non-Transferable Vote (SNTV), Mixed Member Proportional (MMP), dan Single Transferable Vote (STV). Tiga yang pertama lebih dekat ke sistem distrik, dan yang lainnya lebih dekat ke sistem proporsional.
Secara konseptual sistem pemilihan umum di Indonesia untuk saat ini menggunakan sistem proporsional terbuka, artinya konsep pemilihan umum adanya teknis pembagian wilayah daerah pemilihan dan membagi perolehan kursi disetiap area pemilihan sesuai jumlah penduduk yang di wakilinya.
Partai Politik menurut Sigmund Neumann dalam buku karyanya yang berjudul Modern Political Parties, menyebutkan, partai politik merupakan perantara besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideologi sosial dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi. Adapun lebih jelasnya yang tertulis dalam karyanya tersebut, yang mengatakan bahwa :
Partai politik merupakan organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda ( A political party is the articulate organization of society’s active political agents; those who are concerned with the control of governmental polity power, and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views.).
Sederhananya pengertian partai politik adalah kumpulan kelompok masyarakat yang memiliki nilai dan tujuan bersama untuk memperoleh kekuasaan secara konseptual dan diatur dalam aturan yang legal. Dengan demikian partai politik adalah wadah bagi masyarakat Indonesia yang ingin mengabdikan dirinya untuk berjuang dan ikut serta pemerintahan.
Partai politik di Indonesia memiliki tugas dan fungsinya, selain sebagai media untuk melakukan pendidikan politik, partai politik juga sebagai sarana untuk menampung aspirasi masyarakat dengan demikian partai politik memiliki kedudukan utama dalam terwujudnya negara yang demokrasi.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pertumbuhan partai politik menjadi peran utama suatu negara untuk mewujudkan partai politik yang sehat dan modern, saat ini banyak partai di Indonesia hanya saya yang menjanlankan tugas dan fungsinya hanya beberapa partai. Sejauh ini masyarakat masih enggan melaporkan permasalahan menganai kebijakan pemerintah kepada partai politik, padahal sejatinya partai politik adalah alat untuk mencetak siapa yang akan menduduki kursi kekuasaan baik di eksekutif maupun legislatif. Artinya banyak pemangku kebijakan public yang merupakan anggota dari partai politik tersebut.
Fungsi partai politik menurut Friedrich yaitu Selecting future leader, maintaining contact between the government, including the opposition, representing the various groupings in the community and integrating as many of the groups as possible” Secara tidak langsung hal ini menjelaskan bahwa partai politik memiliki wewenang yang lebih dalam mewujudkan kedulatan rakyat.
Polemik internal partai politik dalam pencalonan Anggota Legislatif sangat menarik untuk dibahas jika merujuk pada kajian teoritis mengenai seleksi kandidasi Dalam analisis penelitian kali ini, peneliti akan menggunakan model analisis seleksi calon berdasarkan model yang dikemukakan oleh Rahat dan Hazan 2001 (William, 2014) menurutnya prosedur untuk menyeleksi calon terdapat empat kriteria, Diantarannya Selektorat, pencalonan, Desentralisasi dan Votting versus penunjukan. Dengan demikian analisis kajian teoritis tersebut dijadikan bahan kajian dalam mekanisme hasil keputusan pimpinan partai dalam melakukan rekcrument calon anggota legislatif.
Metodologi
Jurnal ini akan membahas menganai sistem proporsional terbuka, dan dalam membenah analisis akademik tersebut peneliti menggunakan metodologi Deskriptif menurut Sugiyono merupakan metode penelitian yang menggambarkan hasil penelitian, bahwa penggambaran ini tidak digunakan untuk menyusun kesimpulan penelitian secara umum.
Penelitian diartikan sebagai kegiatan pengumpulan, analisis dan juga penyajian data yang dilakukan secara sistematis dan objektif dalam memecahkan persoalan. Dalam hal ini metodologi penelitian deskriptif dianggap mampu untuk menjelaskan analisis yang menjadi masalah dalam analisis jurnal ini, dengan demikian peneliti akan mengambarkan permasalahan yang ada dengan data data yang dimiliki oleh peneliti dari hasil kajian berbagai sumber.
Tujuan pertama metode penelitian deskriptif untuk mendeskripsikan, penelitian pada tahap awal yakni mendeskripsikan temuan-temuan penelitian berdasarkan data-data yang dianalisis dan kemudian dilakukan penelitian secara mendetail.
Hasil dan Analisis
Jimly Asshiddiqie, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), menilai, penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019 diwarnai kekisruhan, akibat penerapan proporsional terbuka Penyelenggaraan Pemilu 2019 pun dinilai lebih buruk dibanding Pemilu sebelumnya. 1 Praktek kotor politik merajalela di tengah-tengah masyarakat, penyelenggara pemilu, dan Caleg. Sebab sistem proporsional terbuka mendorong, mau tidak mau, money politics dan kecurangan kecurangan dalam bentuk lainnya. Selain itu juga dalam internal partai politik
Recrutmen calon legislatif menjadi ajang praktik money politics di internal partai. Ditambah lagi, munculnya “raja-raja kecil” yang direpresntasikan oleh pemimpin-pemimpin partai politik. Sebagai “raja” di istananya (Parpol), para elite ini memegang peranan yang sangat dominan, terlebih dalam menentukan calon-calon legislatif yang harus diusung oleh rakyat. Kekuasaan oligarkis semakin mengakar di dalam tubuh partai politik, dan cita-cita demokratis pun memudar.
Keterpilihan berdasarkan suara terbanyak sudah mendekati atmorsfir yang baik untuk demokrasi. namun dalam hal ini tidak semua calon anggota legislative melakukan nya dengan proses yang baik, banyak dari mereka melakukan berbagai macam cara untuk di pilih oleh masyarakat hal ini senada dengan hasil survey tentang money politik pada pemilu legislative 2019 menurut data yang di beritakan oleh kompas.com Jawa Timur menjadi daerah yang paling memaklumi politik uang dengan 54,7 persen. Kemudian disusul DKI Jakarta dan Banten dengan 54,5 persen.
“Ini memang angka cukup mencengangkan. Hampir separuh publik mengatakan money politics itu dapat dimaklumi,” kata Direktur Riset Charta Politika (Ihsanuddin, 2019) Muslimin, saat merilis hasil surveinya.
Dengan demikian proses pemilihan umum sejauh ini masih menjadi permasalahan serius masyarakat Indonesia, sehingga hal ini belum mampu mewujudkan cita cita bangsa dalam hal ini untuk menuju Indonesia yang sejahtera. Peran partai politik sendiri masih belum maksimal dalam menampung aspirasi masyarakat, dan terkadang kehadiran orang baru dalam parlemen non kader partai sangat sulit untuk mewujudkan cita cita atau visi yang dirumuskan oleh partai politik dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Terkadang calon anggota legislative yang hari ini terpilih mereka bingung dalam menjalankan tugas nya. Sehingga ketrwakilan suara rakyat sulit untuk disuarakan.
Meskipun demokrasi kita menggunakan system proporsional terbuka namun fakta yang ada berdasarkan hasil survey dimana lembaga DPR Menduduki urutan Hasil survei Charta Politika Indonesia (Mubaroq, 2022) mencatat institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan DPR menjadi lembaga negara yang paling tidak dipercaya public.
Dalam survei yang dirilis Kamis (22/12), tingkat kurang percaya publik kepada Polri mencapai 31,1 persen. Sementara itu tingkat kurang percaya kepada DPR mencapai 32,6 persen. Kedua lembaga itu juga mencatat angka tertinggi sebagai lembaga yang paling tidak dipercaya sama sekali.
Dapat Di simpulkan dengan system pemilihan umum proporsional terbuka tidak menjamin hasil dari pemilihan tersebut mewujudkan wakil rakyat yang berintegritas dan mampu di percaya oleh public, hal ini masih menjadi koreksi bersama baik untuk pihak penyelenggara pemilu maupun pihak peserta pemilu dengan demikian perbaikan perbaikan system kepartaian di Indonesia dan penyelenggara pemilu yang berintegritas dapat di wujudkan bersama untuk tata kelola Negara demokrasi yang maju.
Kesimpulan
Melihat kondisi hari ini system pemilihan umum proporsional terbuka memberikan spirit yang positif bagi atmorsfir demokrasi, namun dalam pelaksanaan nya harus ada pengawasan dan badan khusus yang menerapakan sanksi bagi peserta pemilu yang melakukan kecurangan, dengan adanya regulasi yang ketat, dimana ketika ada calon anggota legislative yang melakukan money politik maka dipastikan tidak dapat dilantik, hal ini diharapkan menekan modal kampanye yang tinggi, dan diharapkan adanya ketegasan dari pihak berwenang dalam menuntaskan permasalahan sengketa pemilu yang dianggap curang. Jika tidak ada ketegasan dalam system pemilu, maka sulit rasanya mewujudkan pemerintahan yang berintegritas.
Proporsional terbuka bukan solusi terbaik dalam system pemilihan umum legislative, namun system proporsional terbuka salah satu atmosfir yang mendekati demokrasi dengan konsep terbuka dan suara terbanyak. Integritas calon legislative yang diseleksi oleh partai politik dan di daftarkan kepada KPU memberikan kritis public agar partai politik mampu menyajikan kader terbaiknya untuk mencalonkan sebagai calon legislative, memberikan seleksi calon anggota legislative yang transparan salah satu membuat public meyakini bahwa partai politik merupakan wadah yang bisa menampung aspirasi rakyat.
*) Penulis adalah : Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Padjadjaran Prodi Ilmu Politik