BELAKANGAN banyak pertanyaan yang dilayangkan sebagian warga Indramayu khususnya kepada PWI Perwakilan Indramayu tentang diajukannya Bupati Kabupaten Indramayu sebagai calon, dan kemudian ditetapkan sebagai penerima Anugerah Kebudayaan (AK) Trofi Abyakta (berkembang maju) dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat pada puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN), di Kendari Sulawesi Tenggara tanggal 22 Februari 2022 lalu, bersama delapan bupati/wali kota dari beberapa daerah lainnya.
Pertanyaan yang sama kemudian tertuju langsung kepada Bupatinya, Nina Agustina. Namun pertanyaan-pertanyaan ini ternyata tidak sekedar pertanyaan tapi juga berbuntut pada pernyataan. Pertanyaan dan Pernyataan” yang terkesan nyeleneh, mengejek dan bahkan merendahkan.
Pertanyaan dan pernyataan ini ada yang diperdebatkan dalam berbagai kesempatan oleh orang-orang yang mengerti, memahami dengan intelektual teruji dalam berbagai kesempatan tidak resmi. Hanya untuk melampiaskan rasa penasaran ketidakpuasan dan kedongkolan.
Pertanyaan dan pernyataan ini ada yang diperdebatkan dalam berbagai kesempatan diskusi tak berpangkal dan tak berujung oleh kelompok yang mengerti namun apa persoalannya mereka kurang memahami. Sehingga yang didiskusikan tidak membuahkan apa-apa semua kata-kata yang tumpah ruah menguap begitu saja.
Lalu ada juga pertanyaan dan pernyataan ini hanya menjadi sebuah dagelan dengan tingkat kecemburuan berpariasi. Menarik memang.
Semestinya yang harus menjadi sorotan di sini bukanlah soal Penghargaan Anugrah Kebudayaan dengan trofi berkembang maju, tapi lebih pada Bupatinya selaku objek yang menjadi penerima yang tidak sedang berperkara hukum/korupsi.
Sebab salah satu persyaratan mutlak calon penerima Anugrah Kebudayaan ini adalah mereka yang tidak sedang berperkara hukum/korupsi. Hal ini jauh-jauh hari telah ditegaskan Ketua PWI Pusat dan telah diedarkan secara tertulis ke seluruh jajaran PWI Provinsi hingga Kabupaten/Kota termasuk ke bupati/wali kota melalui Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI).
Jadi kalau dasar atau persyaratan calon penerima AK tersebut adalah mereka (Bupati/Walikota) yang baru satu tahun dilantik lalu berhasil membuktikan kiprahnya dalam pembangunan berbasis budaya dengan berbagai perubahan yang mampu menghidupkan akses budaya local dan berimbas secara ekonomi ke masyarakat. Jelas ini akan jadi pertanyaan besar.
Tapi paling tidak Nina Agustina sebagai Bupati Indramayu terpilih, pada tanggal 20 Februari 2021 beliau sempat mengunjungi lokasi temuan cagar budaya, Candi Dingkel yang berada di Desa Sambimaya Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu. Lepas dari apapun makna kunjungan itu.
Situs sejarah ini harus bisa dikembangkan melalui wisata sejarah di Indramayu. Hal ini sebagai upaya pemerintah dalam melastarikan budaya masyarakat setempat, ungkapnya.
Barangkali kunjungan beliau lebih pada rasa keingintahuannya sebagai seorang pemimpin terpilih yang belum memahami sepenuhnya peta kultur Indramayu pada waktu itu. Moment ini mungkin bisa saja sudah disetting direncanakan.
Atau kalau mau jujur secara psikologis Nina Agustina pun mungkin memiliki rasa ingin tahu soal keberadaan candi tersebut. Jadi penting atau tidak penting yang jelas ada kaitannya dengan komitmen pemerintah dalam konteks pembangunan daerah berbasis budaya itu.
Tidak Diharamkan
Sedangkan persoalan mengkritisi kinerja Bupati yang dianggap tidak sejalan atau mungkin melenceng dari aturan, atau karena kebijakan-kebijakannya yang tidak populis, itu sah-sah saja dan tidak diharamkan. Karena itu sebagai kontrol yang sudah seharusnya dihidupkan sebagai upaya mengingatkan dan mengerem agar tidak sampai kebablasan.
Sebagai masyarakat Indramayu, siapapun punya hak untuk ikut memberikan masukan tanpa harus mendiskreditkan Pemimpinnya secara membabi buta, dengan memperhatikan etika dan rambu-rambu bahasa serta simbol-simbol pembunuhan karakter (hancurnya martabat seseorang) yang kemudian mengarah pada adu kucing.
Sebab kepemimpinan di suatu daerah sangat urgent diperhatikan khususnya pada pelaksanaan tata kelola pemerintah daerah, seperti dituliskan Dr. Kartini Kartono dalam bukunya Pemimpin dan Kepemimpinan (Apakah Kepemimpinan Abnormal Itu? Penerbit PT. Raja Grafindo Persada Halaman 36-38).
Dikatakan bahwa persyaratan kepemimpinan itu harus selalu dikaitkan dengan tiga hal penting: (1) kekuasaan, yaitu otoritas dan legalitas yang memberikan kewenangan kepada pemimpin guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu, (2) kelebihan, keunggulan keutamaan sehingga orang mampu mengatur orang lain, sehingga orang tersebut patuh kepada pimpinan, dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu. (3) kemampuan, yaitu segala daya, kesanggupan, kekuatan dan kecakapan/keterampilan teknis maupun anggota biasa.
Dari ketiga hal di atas hanya golongan masyarakat tertentu yang dapat membaca gaya, sikap dan kemampuan pemimpin didaerah mereka untuk masuk pada lingkaran kekuasaan yang dianggap tidak/kurang berpihak pada kepentingan umum.
Namun jika dikembalikan pada model kepemimpinan baru di era ini, kepemimpinan dengan konsep pembangunan berbasis budaya lingkungan sebagaimana dicanangkan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Semuanya harus kembali belajar, dengan memberikan ruh pada gagasan-gagasan inovatif melalui “prinsip kebudayaan”.
*)Penulis adalah Penyair dan Pemerhati Sosial Budaya