Datanglah Idris kerumah waktu itu. Idris datang tidak sendiri, dia bersama Ramadhan, Yuyun, Erni Sumarni, dan Yusuf. Mereka membawa tulisan berjudul “Pilu Guru Honorer.” Sekilas dibaca isinya jelaskan masalah yang sampai saat ini masih terkatung-katung.
Seorang kawan Idris, Ramadhan namanya berujar: “pemerintah tidak menghormati peran penting guru honorer, utamanya dalam kesejahteraanya.”
Lanjut, Ramadhan: “Sebagaimana diketahui guru honorer belum mendapatkan kesejahteraan yang layak seperti halnya guru PNS, walaupun beban kerjanya sama dengan PNS, bahkan ada yang melebihi beban kerja PNS karena ada merangkap menjadi Operator Sekolah.” Keluh Ramadhan.
Aku dengarkan satu persatu. Keluh kesahnya membuat aku jadi merasa iba. Betapa sakitnya jadi guru honorer, untuk menyambung hidup, utamanya yang belum disertifikasi harus mengajar dari satu sekolah ke sekolah yang lain, memberi jasa les/privat, menjadi pedagang gorengan, tukang ojeg (laki perempuan), dan menjadi pelaut bagi kampungnya berada dipesisir. Ini resiko hidup yang tak semua orang mampu menjalaninya.
Kesempatan itu, berbincang-bincang bersama mereka: seorang Yusuf, laki-laki ganteng tubuh semampai dengan status guru honorer terpaksa harus memendam keinginannya untuk menikah, karena kurang percaya diri dan khawatir tidak dapat menafkahi keluarganya hanya mengandalkan penghasilan sebagai guru honorer.
Kemudian, Erni Sumarni bercerita: “pada umumnya aturan pemberian honor di sekolah walau mengajar tatap muka sebulan, tapi honor yang diberikan adalah seminggu.” Katanya
Tentu miris sekali, bahkan ada yang berikan gaji pertiga bulan. Itupun tergantung sekolah.
Tiba – tiba seorang Yuyun mencontohkan, mungkin saja sama yang dialaminya disekolah: “jika dalam seminggu mengajar 10 jam dan honor perjamnya adalah Rp 20.000, maka honornya adalah 10 JP x Rp 20.000 = Rp 200.000.” Katanya kesal, sambil menuding pemerintah tidak bertanggungjawab pada nasib guru yang ada.
Lanjutnya, ia berkata: “Itulah yang namanya take home pay yang dibawa oleh seorang guru honorer walau secara de facto mengajar selama 40 JP dalam satu bulan. Tetapi tetap saja gajinya dan kesejahteraan tak lebih dari Rp. 200.000.” Ketusnya.
Memang selama ini, masalah terbesar sekolah adalah Dana BOS hanya bisa gunakan sebesar 15% untuk membayar guru honorer. Sehingga tidak cukup menjamin.
Menurut mereka, saat dialog bahwa tentunya Kepala Sekolah akan pusing dan bingung untuk membayar honor guru honorer. Karena semua beban itu tanggungjawab kepala sekolah. Nah, ini tidak adil, seharusnya pemerintah yang melakukan evaluasi dan perubahan, bukanlah kepala sekolah.
Yuyun rupanya sangat kesal kepada pemerintah. Karena sudah puouhan tahun masalah guru honorer ini menumpuk, seperti gunung es. Begitu kesalnya Yuyun atas sikap pemerintah selama ini.
Aku hanya mendengar keluhan mereka. Berharap ada solusi dari ku, ya apa boleh buat, aku bukan pemerintah. Tetapi aku cukup merasa iba dan mencoba mendukung perjuangan mereka.
Lalu Yusuf meyakinkan teman-teman agar tidak berdiam diri atas kepiluan ini. Karena guru honorer sudah cukupp ikhlas menjalankan sistem pendidikan dan pengelolaan keuangan.
Yusuf berkata: “Jika dihitung secara matematis, maka sangat tidak rasional, seorang guru honorer membiayai hidupnya dengan honor sejumlah itu, tapi urusan rezeki memang sudah diatur oleh Dzat Yang Maha Memberi rezeki.” Batin Yusuf mencoba tetap ikhlas
Aku melihat, wajah-wajah mereka yang galau dan prihatin, namun, mereka tetap dapat melanjutkan kehidupannya. Kuncinya mensyukuri apa yang telah didapatkan dan dengan dilandasi niat untuk turut mencerdaskan anak-anak bangsa.
Selama ini, etika melihat anak-anak didiknya bersemangat dalam belajar dan mencapai prestasi yang bagus, maka sang guru honorer pun merasa senang dan bangga.
Jadi, tunggu aku, Insya jalan terjal guru honorer ini mendapat solusi yang terbaik. Aku siap bersama kalian wahai para Guru Pahlawan Peradaban.