INDRAMAYU,(Fokus Pantura.com),- Menteri Dalam Negeri, Tjahyo Kumolo hingga saat ini masih belum memproses surat pengunduran diri Hj Anna Sophanah dari kursi Bupati Indramayu, sejak disetujui DPRD Indramayu, Rabu,(7/11/2018)lalu, pasalnya Mendagri belum menerima surat resmi dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil terkait pengunduran diri istri Mantan Bupati Indramayu H.Irianto MS Syafiudin alias Yance.
Penegasan itu disampaikan Tjahjo Kumolo usai memberikan pembekalan dalam acara Pembukaan Pembekalan Diklat Kepala Daerah Terpilih Gelombang Kedua di kantor Badan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kemendagri belum lama ini.
“Belum terima surat dari gubernur,” kata Tjahjo kepada wartawan di Jakarta dilansir Radar Cirebon.com
Menurutnya, usulan Gubernur Jawa Barat hingga saat ini belum diterima, sehingga status Anna tetap masih resmi sebagai bupati. Meskipun hasil sidang paripurna DPRD Indramayu sudah sepakat atas pengunduran diri tersebut pada 7 Nopember 2018 lalu.
”Selama surat belum diterima, yang bersangkutan tetap menjalankan tugasnya sebagai bupati,” singkatnya.
Kondisi seperti itu, menjadi ganjalan Wakil Bupati Indramayu, H.Supendi untuk mulus melanjutkan tongkat kepemimpinan Indramayu Remaja melanjutkan sisa masa jabatan Bupati Indramayu periode 2015 – 2021.
Sementara itu, Dosen Fakultas Hukum Unwir Indramayu, Tatang Odjo Suardja megungkapkan, pandangan hukum tata negara pada pasal berhalangan tetap memang belum bisa menjadi yuresprudensi, tetapi bisa dikaji secara kooperhensif melalui konvensi hukum tata negara dan tafsir hukum lainnya, kendati keputusan final ada pada sikap pemerintah.
“Masalah pengunduran diri Bupati Indramayu tak bisa masuk dalam yurisprudensi tetapi menggunakan konvensi hukum,”tutur mantan Rektor FH Unwir Indramayu ini.
Senada, Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan Fisip Unwir, Iman Soleh, mengatakan sejak awal pernyataan pengunduran diri Hj. Anna Sophanah sebagai Bupati Indramayu sudah diperkirakan akan berdampak pada empat hal, pertama berdampak pada permasalahan tata negara/tata pemerintahan, kedua berdampak pada administrasi pemerintahan/pelayanan publik, ketiga berdampak pada permasalahan elit politik lokal, dan keempat berdampak pada masalah moralitas dan pertanggungjawaban kepada publik.
“Permasalahan tata negara/tata pemerintahan adalah bahwa pengunduran diri seorang bupati karena permintaan sendiri, baik karena sakit atau alasan lain, bukanlah sebuah proses yang singkat dan mudah dilakukan, walaupun secara etika politik hal tersebut sudah disetujui oleh DPRD melalui sidang paripurna terbuka,” ungkap Direktur Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) Fisip Unwir Indramayu.
Menurutnya, jika memperhatikan UU NO. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pengunduran diri Bupati atau Walikota tidak cukup mendapat persetujuan DPRD tetapi juga harus mendapat persetujuan Gubernur. Persetujuan Gubernur diperlukan untuk mendapatkan landasan hukum tetap yaitu SK Pengunduran diri dari Menteri Dalam Negeri. Dalam kasus pengunduran diri Anna Sophanah tampaknya alasan pengunduran diri dengan menyebutkan untuk lebih fokus mengurus keluarga menjadi pengganjal keluarnya persetujuan baik dari gubernur maupun menteri dalam negeri.
Kedua, permasalahan terganggunya administrasi pemerintahan/pelayanan publik, bahwa secara de facto Anna Sophanah sudah berhenti sebagai Bupati tetapi secara de jure hal ini masih menggantung dan berakibat terhambatnya administrasi pemerintahan, berapa banyak SK bupati yang harus ditanda tangani baik untuk kepentingan internal penyelenggaraan pemerintahan Kabupaten Indramayu, ataupu kepentingan eksternal hubungan pemerintah pusat maupun daerah yang memerlukan tanda tangan Bupati Indramayu sebagai bukti hukum administrasi pemerintahan. Belum lagi administrasi keuangan negara akan menghadapi deadline penggunaan anggaran pada bulan Desember ini.
“Selain itu bupati sebagai pejabat politik sekaligus pejabat publik juga berfungsi memberikan pelayanan publik kepada masyarakat Indramayu,” tuturnya.
Ketiga, berdampak pada permasalahan elit politik lokal, dimana bupati dan wakil bupati adalah pejabat yang terpilih melalui mekanisme Pilkada langsung oleh masyarakat melalui partai politik pengusung dan pendukung. Jika secara de facto Anna Sophanah sudah menyatakan berhenti maka seharusnya wakil bupati segera menggantikan posisi bupati sebagai kepala daerah sekaligus kepala pemerintahan, karena menurut kelaziman dan etika politik kekuasaan itu tidak boleh kosong dalam waktu dan kondisi apapun, jika ini terjadi maka kemungkinan kekacauan jalannya roda pemerintahan akan terjadi.
Selain itu, jika kekosongan terjadi dalam waktu yang cukup lama, maka konflik politik antar partai pengusung dan pendukung mengenai siapa kader pengganti jabatan yang kosong dalam hal ini wakil bupati, akan meningkat eskalasinya, apalagi jika dikaitkan dengan momentum pemilu serentak yang waktunya semakin dekat.
Keempat, berdampak kepada masalah moralitas dan pertanggungjawaban kepada publik. Seperti diketahui Pilkada langsung Bupati Indramayu tahun 2015 adalah sebuah proses melelahkan dan memakai anggaran yang tidak main2, dinamika politik yang melibatkan semua elemen elit politik hingga masyarakat dan biaya puluhan milyar adalah komitmen masyarakat Indramayu pada proses demokrasi yang optimal. Kesediaan para calon pada tahapan awal Pilkada melalui fakta integritas dan komitmen politik kepada semua elemen masyarakat indramayu tidak bisa begitu saja diabaikan hanya karena ingin berhenti dengan alasan sesuatu hal.
“Hal ini akan menjadi preseden buruk kepada pejabat dan calon pejabat bupati bahwa mereka bisa berhenti kapan saja dengan mengabaikan moralitas dan komitmen serta pertanggungjawaban kepada publik yang sudah memilihnya.,” Pungkasnya.