JAKARTA,(Fokuspantura.com),- Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak uji materiil Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal UU Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Desa terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh pemohon Eliadi Hulu, warga Kabupaten Nias Utara bersama rekan.
Pasalnya, terhadap Pasal 39 UU Desa yang diujikan oleh Pemohon dalam perkara a quo juga telah beberapa kali dilakukan pengujian. Oleh karena itu, Pemohon perlu terlebih dahulu menguraikan rincian keseluruhan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XX/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIX/2021.
Permohonan uji materiil pasal diajukan bertanggal 25 Januari 2023 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 25 Januari 2023 berdasarkan Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Nomor 11/PUU/PAN.MK/ AP3/01/2023 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi Elektronik (e-BRPK) dengan Nomor 15/PUU-XXI/2023 pada tanggal 31 Januari 2023, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 Februari 2023.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman, menyatakan tidak dapat menerima gugatan yang diajukan Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV, Pemohon VII, Pemohon IX, dan Pemohon X berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) dan tidak dapat diterima.
“Menyatakan permohonan Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VIII, Pemohon XI, dan Pemohon XII berkenaan dengan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) beserta Penjelasan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) gugur dan Menyatakan permohonan Pemohon I berkenaan dengan pengujian Penjelasan Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495) tidak dapat diterima,” ujarnya dalam sidang pembacaan putusan Nomor 15/PUU-XXI/2023, seperti dikutip, Sabtu 8 Maret 2023 lalu.
Bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi melakukan pengujian terhadap undang-undang yang diduga bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 merupakan mekanisme kontrol (check and balances) terhadap lembaga eksekutif dan legislatif dalam membentuk undang-undang sebagai suatu produk hukum pemerintah. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin pembentukan dan pelaksanaan undang-undang selaras dengan UUD NRI Tahun 1945 dilaksanakan secara bertanggung jawab guna mewujudkan cita hukum negara (rechtsidee), kepentingan umum, dan kehendak rakyat berdasarkan prinsip negara hukum, Pancasila, prinsip demokrasi, prinsip nomokrasi konstitusional, dan perlindungan hak asasi manusia.
Bahwa, para Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar melakukan pengujian terhadap Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) serta Penjelasan Pasal UU Pasal 39 ayat (1) dan ayat (2) Desa terhadap UUD 1945, yang berbunyi: Pasal 39 (1) Kepala Desa memegang jabatan selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tanggal pelantikan. (2) Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjabat paling banyak 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturutturut atau tidak secara berturut-turut. 9. Bahwa Pasal a quo bertentangan dengan UUD 1945, khususnya pada pasal-pasal berikut: a. Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”; b. Pasal 7 yang menyatakan bahwa, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan” c. Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “Segala warga negara bersamaan dengan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Bahwa dengan berlakunya Pasal 39 ayat (2) UU Desa yang memberikan hak kepada Kepala Desa menjabat paling banyak 3 (tiga) periode atau 3 (tiga) kali masa jabatan secara berturut-turut 12 atau tidak secara berturut-turut telah menyebabkan kerugian konstitusional bagi para Pemohon. Kerugian konstitusional yang dimaksud adalah: 1) Bahwa berdasarkan prinsip konstitusional, periodisasi sebuah jabatan dalam ruang lingkup pemerintahan paling banyak adalah sebanyak 2 (dua) kali, periodisasi sebanyak 2 (dua) kali berlaku bagi presiden hingga bupati/walikota. Pembatasan masa jabatan sebanyak 2 (dua) periode bagi presiden diatur dalam Pasal 7 UUD 1945, sedangkan pembatasan periodisasi sebanyak 2 (dua) kali bagi gubernur dan bupati/walikota diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah. Pembatasan masa jabatan tersebut merupakan apdosi dari fakta historis dan semangat lahirnya Pasal 7 UUD 1945.
Bahwa adagium “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” yang dikemukan oleh Lord Acton merupakan realitas dalam sebuah kekuasaan. “Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak dipastikan akan korup”. Adagium ini bukan hanya relevan pada kekuasaan yang tidak dibatasi baik dari segi hak dan kewenangan tetapi juga relevan dari segi masa jabatan dan/atau periodisasi masa jabatan yang tidak dibatasi atau terlalu lama. Periodisasi masa jabatan yang begitu lama akan memberikan kesempatan yang begitu besar bagi yang berkuasa untuk melakukan tindakan-tindakan koruptif dalam menyelenggarakan pemerintahan c.q pemerintahan desa.
Bilamana dijumlahkan, masa jabatan kepala desa selama 6 (enam) tahun dalam 1 (satu) dengan periodeasi sebanyak 3 kali, maka Kepala Desa yang bersangkutan akan mejabat selama 18 tahun secara berturut – turut maupun tidak berturut-turut. Jangka waktu tersebut 13 setengah dari masa jabatan Presiden kedua Indonesia yang menjabat selama 32 tahun yang membawa Indonesia pada masa-masa kediktatoran yang mengakibatkan munculnya tirani-tirani yang menguasai negara sehingga kualitas demokrasi Indonesia sangat rendah.
Bahwa salah satu penyebab Presiden kedua Indonesia menjabat dengan begitu lamanya dikarenakan Presiden telah menguasai parlemen hampir 100 persen dan telah menancapkan pengaruh-pengaruh kekuasaan yang begitu kuat (super power) sehingga membentuk tirani yang menguasai negara. Hal tersebut dapat pula terjadi pada jabatan kepala desa, kekuasaan yang begitu lama akan memberi peluang kepada kepala desa untuk melakukan tindakan-tindakan yang bermaksud untuk melanggengkan kekuasaan hingga 3 (tiga) periode.
Sementara itu, alasan pemohon yang disampaikan dalam Posita menyebutkan bahwa pembatasan masa jabatan kepala desa selama 5 tahun dengan 2 periode merupakan implementasi dari fakta historis dan semangat lahirnya pasal 7 UUD 1945, karena ihwal lahirnya Pasal 7 UUD 1945 merupakan semangat dari pembatasan kekuasaan dan masa jabatan eksekutif yang pernah membawa Indonesia pada era degradasi demokrasi yang sangat nyata pada rezim orde baru. Fakta historis tersebut menjadi pertimbangan utama lahirnya Pasal 7 UUD 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 5 tahun dengan 2 (dua) periode, oleh karena penting memahami makna sesungguhnya dari Pasal 7 UUD 1945 dengan dua cara yaitu membacanya secara tekstual dan secara historis yang meliputi suasana kebatinan (geistlitchen hintergrund) saat dirumuskannya Pasal 7 dan pembacaan secara historis ini penting karena dapat digunakan sebagai instrumen dalam memahami tujuan hukum.
Hal ini didukung oleh asas hukum animus hominis est anima scripti yang bermakna sejarah adalah jiwa dari sebuah instrumen (Feri Amsari, 2011). Artinya kalimat yang ada dalam pasal haruslah dipahami juga melalui analisis sejarah dalam penyusunan konstitusi.
Kedua, bahwa munculnya Pasal 7 UUD 1945 erat kaitanya dengan prinsip pembatasan kekuasaan. Di dalam negara yang mendasarkan dirinya atas demokrasi konstitusional, UUD mempunyai fungsi yang khas, yaitu untuk membatasi kekuasaan pemerintah. Loewenstein dalam bukunya Political Power and the Governmental Process mengatakan bahwa konstitusi ialah suatu sarana dasar untuk mengawasi proses-proses kekuasaan dengan cara memberikan pembatasan dan pengawasan terhadap kekuasaan politik. Dalam teori pembatasan kekuasaan, Padmo Wahjono membaginya menjadi dua bagian, yaitu pembatasan yang meliputi isi kekuasaannya dan pembatasan yang berkenaan dengan waktu dijalankannya kekuasaan tersebut.
Pemohon I menyatakan kekhawatiran melihat tuntutan sekelompok Kepala Desa(kades)yang ingin masa jabatannya diperpanjang menjadi 9 tahun dan bisa terpilih 3 kali.
Dia menilai hal itu sama saja mengizinkan kades mempertahankan kekuasaan selama 27 tahun.
Tuntutan kades tersebut, kata dia, tentu akan membunuh demokrasi di tingkat desa dan bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, dia juga menyebut kades yang mungkin menjabat selama 18 tahun bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945 yang mengatur tentang masa jabatan presiden dan wakil presiden selama 5 tahun dan hanya dapat terpilih untuk 2 kali masa jabatan.
Menurutnya, Pasal tersebut membawa semangat soal pembatasan kekuasaan yang seharusnya diterapkan juga untuk jabatan kades. Pasalnya, kata dia, kekuasaan yang terlampau besar akan melahirkan tindakan korupsi dan abuse of power.