Saat itu sekitar tahun 1965 di sebuah desa di Kabupaten Cirebon. Seorang gadis cilik yang dandanannya lusuh, berusia kira-kira 14 tahun maju ke panggung. Penonton tentu saja tak memperhitungkannya, meskipun ia sebenarnya sudah melangkahkan kakinya dari Subang, Indramayu hingga Cirebon. Ia belum dikenal sama sekali.
Ia masih dianggap gadis bau kencur. Ditambah lagi di atas panggung sudah berderet pesinden tarling yang sudah punya nama. Namun siapa sangka saat tembang meluncur dari bibirnya, tiba-tiba para penonton terkesima. Suara gadis bau kencur itu melengking tinggi, lalu merendah menyayat hati.
Lagu-lagu klasik yang ia tembangkan mampu mencuri perhatian pentonton. Saat itu bahkan para senior pun dianggap terlampaui. Ia kemudian banyak diperbincangkan dan menjadi buah bibir masyarakat. Gadis itu kemudian dikenal dengan nama Dariyah.
Sejak saat itu ia mulai diperhitungkan orang. Ia muncul seperti menerobos eksistensi kemapanan pesinden lain yang sudah punya nama. Ia seakan-akan mengukuhklan dirinya sebagai seorang pesinden yang memiliki karakter dan warna tersendiri yang kuat.
Benar, perjalanan berikutnya ia kemudian mampu meraih puncak. Dariyah malang-melintang sebagai pesinden tarling, sandiwara, wayang kulit, ataupun kliningan dan tayuban dengan bayaran cukup tinggi.
Bersama grup tarling “Cahaya Muda” pada dekade 1970-an yang dibangun bersama suaminya, H.T. Ma’mun di Kec. Jatibarang Indramayu, Dariyah menjadi makin terkenal. Ia menjadi pesinden tarling klasik, pemain drama-tarling, bahkan juga menciptakan lagu-lagu tarling ber’genre’ dangdut daerah. Wilayah panggungannya di sepanjang pantai utara Jawa Barat hingga Jawa Tengah, terutama Indramayu dan Cirebon. Bahkan juga hingga ke Jakarta dan Lampung.
Acapkali pula ia mengisi permintaan publik untuk menjadi pesinden dalam seni sandiwara (masres), kliningan, tayuban, atau juga wayang kulit. Suaranya yang khas melengking menjadi karakter yang kuat dalam meningkahi suasana pertunjukan lewat tembang klasik.
Teks tembang klasik itu memang spontan mengiringi plot ‘guru padha” (jumlah bait), ‘guru gatra’ (jumlah baris tiap bait), ‘guru wilangan’ (jumlah suku kata tiaap baris), dan ‘guru lagu’ (rima tiap baris) yang sudah ada. Plotnya sudah ada, tetapi teksnya spontan ditembangkan.
Ketika unsur dangdut mulai mempengaruhi tarling, ternyata Dariyah pun beradaptasi. Tarling klasik tetap dilakoni, tarling-dangdut pun ia jalani. Semua nomor tembang klasik ia kuasai, Puluhan bahkan mungkin ratusan kasetnya menunjukkan hal itu.
Ketika era tarling-dangdut mewabah pada dekade 1980-an, ternyata Dariyah pun menguasai pula. Bahkan lahir pula lagu-lagu ciptaannya yang berirama tarling tengdung (dangdut), semacam lagu “Enakan”, “Cibulan”, “Sepasang Manuk Dara”, “Gadis Indramayu”, dll.
Tidak hanya itu, dalam drama-tarling pun aktingnya dipandang mumpuni sebagai sosok perempuan, atau sosok ibu, atau sosok ‘aktris panggung’ utama. Tanpa kehadiran Dariyah, grup tarling “Cahaya Muda” terasa ora sedep (tidak sedap). Oleh karenanya, Dariyah harus tetap ada jika grup tarling itu manggung. Ketika Dariyah tak ada (meninggal dunia, sekitar sepuluh tahun yang lalu), grup tarling itu pun tak terdengar lagi kiprahnya.
***
Karier Dariyah memang tidak dibangun secara kilat. Perjalananannya dalam menekuni seni suara dimulai sejak kanak-kanak. Di tanah kelahirannya, Desa Tanjung, Kecamatan Cipunagara, Kabupaten Subang, ia mulai nembang sejak duduk di Kelas 2 SR (Sekolah Rakyat). Dariyah yang lahir tahun 1951 awalnya belajar nembang Sunda. Ia belajar kepada pesinden Sunda yang terkenal saat itu, Ibu Darlem Gagaksengara.
Di wilayah yang berbatasan dengan Kec. Haurgeulis Kab. Indramayu itu memang akulturasi terjadi. Kultur Sunda-Subang berbaur dengan kultur Jawa-Indramayu dan Cirebon. Bagi Dariyah, bahasa Sunda memang merupakan bahasa ibu. Tetapi ia juga akrab dengan komunitas Jawa-pantai utara (Indramayu-Cirebon) yang ada di desanya. Apalagi menurut sumber, orangtua Dariyah juga dari Indramayu, yakni dari Desa Tugu Kec. Sliyeg.
Pada tahun-tahun tersebut kesenian tarling sudah beredar luas dan banyak digemari anak-anak muda. Seperti pada hari-hari yang ia lewati, ia senantiasa mendengar suara petikan gitar yang mengiringi tembang-tembang klasik Dermayonan dan Cerbonan.
Alunan itu seperti menjadi bagian dari kehidupannya. Suara itu berasal dari dua orang laki-laki yang berasal dari Jamblang Cirebon. “Namanya Mang Carum dan Mang Masno. Mereka bekerja di desa saya sebagi tukang kemasan, yaitu membuat atau mereparasi perhiasan emas,” ujar Dariyah.
Dariyah sangat tertarik, sehingga ia ikut nimbrung. Dari pergaulan itulah dia mengenal tarling dan bahkan kemudian menguasai tembang-tembang klasik. Di kemudian hari saat ia sudah bergabung dengan grup sandiwara “Gajah Mada” di Sukra Kabupaten Indramayu, ia mengenal pula seniman-seniman tarling lain, seperti Jayana, Abdul Adjib, Sunarto, Carinih, Dadang Darniyah, dll.
Meski sudah begabung dengan grup sandiwara terkenal, Dariyah akhirnya memilih keluar. Alasannya, ia merasa kurang dihargai. Bayaran dia dan juga personel lain ditentukan melalui prosentase. Perhitungan seperti itu memang sudah lazim pada zaman tersebut, yakni harga order panggungan yang diterima sebuah grup kemudian dipotong untuk transportasi, makan, dsb. Setelah itu barulah dibagikan kepada personel berdasarkan prosentase.
Tampaknya freelance lebih dipilih Dariyah. Ia kemudian menjadi pesinden di mana saja, baik dalam seni sandiwara, tarling, maupun wayang kulit. Pilihan tersebut tampaknya hanya sementara. Terbukti bersama rekan-rekannya di Desa Karang Tumaritis, Kec. Haurgeulis, Kab. Indramayu ia dirikan grup tarling pada tahun 1978.
Nama grup tarling itu “Semar Budaya”. Menurut Dariyah, nama “Semar” diambil karena Tumaritis identik dengan nama desa pimpinan Ki Lurah Semar dalam cerita pewayangan. Namun nama itu kemudian diganti Dariyah dengan naman baru, yakni “Cahaya Muda”. Ia mengartikan sebagai orang-orang muda yang memancarkan cahaya melalui kesenian.
Jadi, “Cahaya Muda” itu sudah ada sebelum ia bersuamikan H.T. Ma’mun di Jatibarang. Nama grup itu kemudian tetap langgeng hinga ia berpindah ke Desa Pilangsari, Kec. Jatibarang, Kabupaten Indramayu. Suaminya, meskipun bukan seorang seniman, mendukung apa yang ia lakukan. Bahkan bersedia menjabat sebagai pimpinan grup.
Bersama “Cahaya Muda”, Dariyah merajai panggungan sebelum dekade 1970-an hingga 2000-an pada acara hajatan. Tiap tahun order panggungan mencapai sekitar 200-an lebih. Saat krisis ekonomi melanda pada tahun 1997, justru panggungan grupnya mencapai 214 kali. Bahkan tahun 1998 mencapai 227 kali.
Puluhan kaset rekaman berisi drama-tarling, tembangan klasik, maupun tarling-dangdut juga ia hasilkan. Belum lagi puluhan kaset lainnya berisi tembang-tembang dia mengiringi sandiwara, wayang, tayuban, maupun kliningan.
Uniknya, publik lebih mengenal Dariyah ketimbang “Cahaya Muda”. Mereka lebih mengenal sebutan “Tarling Dariyah”. Artinya nama dan kehadiran Dariyah merupakan tumpuan penggemarnya. Pemain lain boleh tak ada, tetapi Dariyah harus ada.
Sisi lain yang menjadi prestasi Dariyah adalah kemampuan menggodok pemain junior secara Iangsung maupun tidak langsung. Terbukti para alumni grup tersebut mampu berdikari dan eksis. Seperti pasangan Maman Suparman-Titin Maryati yang membentuk grup sendiri, “Candra Lelana”. Mereka kemudian berpisah. Titin kemudian bergabung dengan Udin Zhaen dalam grup “Kamajaya”, meski akhirnya berpisah pula. Titin mendirikan grup sendiri. Sementara Maman berduet dengan Iyeng.
Pemain lainnya yang merupakan “alumni” Dariyah antara lain Tirah Kastirah (membentuk grup sendiri, “Tiranda Group”), Tono, Yoyo Suwaryo (membentuk grup “Dharma Muda”), Erni (Erni’s Grup), Hj. Aam Kaminah, yang kemudian lebih dikenal sebagai pesinden wayang kulit, dan Wa Cali (grup tarling sendiri).
Darah kesenian Dariyah memang mengalir dari keluarganya. Terutama dari kakeknya, dari garis keturunan ibu, yang dikenal sebagai seorang dalang wayang golek. Meski berasal dari komunitas Sunda, justru Dariyah memilih tembang Jawa Dermayonan/Cerbonan. Pilihan yang tampaknya amat tepat, karena kemudian kariernya meroket.
Dari perjalanan yang otodidak itu akhirnya melahirkan sikap yang beresensi kompetensi, ‘skill’ yang mumpuni, dan pengabdian penuh totalitas. Hal inilah yang agaknya pernah dipotret suatu lembaga di Jakarta yang memilih Dariyah sebagai salah satu seniman Indonesia yang ditampilkan di Amerika Serikat. Sayangnya, acara yang akan berlangsung selama enam minggu pada tahun 1990-an itu tidak bisa ikuti. Dengan alasan ada acara keluarga ia memutuskan untuk tidak ikut serta.
Kini Dariyah sudah tiada. Namun perjalanan panjangnya sebagai seniwati berpengaruh tetap diingat orang. Pahit-getir dan asam-garam berkesenian sebagai orang panggung, pesinden dan pemain drama-tarling pasti sudah ia rasakan. Apalagi bagi perempuan, yang pada awalnya dianggap tak lumrah.
Menurut Dariyah, sebelum tahun 1970-an hingga awal 1970-an perempuan menjadi pesinden itu banyak dilecehkan orang. Seirama perkembangan zaman, pandangan itu mulai berubah ke arah positif. Apalagi di antara para pesinden tak sedikit pula yang beribadah haji. Termasuk dirinya, Hj. Dariyah.
Mungkin pula dalam perenungan terhadap kehidupan ini masih terlintas syair-syair tembang klasiknya: “Éling-éling mangka éling rumingkang / Ning bumi alam / Darma wewayangan baé / Kuasa ora wisésa // Diblai ora permisi / Cilaka ora bebéja / Tegang pati / Lara ning jiwa // Mulané aja ngumbar amarah / Aja baé nutugi napsu / Keduhung tinemu ning guri / Nelangsa tinemu ning tuwa / Yén wis éling / Nembé kélingan
*) Penulis adalah Penulis Buku, Pemerhati Seni dan Budaya Kabupaten Indramayu.