banner 728x250

KPK Diminta Awasi Transaksi Perizinan Kapal Nelayan

banner 120x600

JAKARTA,(Fokuspantura.com).- Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI), Rusdianto Samawa mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pengawasan terhadap transaksi proses perizinan kapal nelayan yang diperoleh dari uang rakyat. Mengingat pentingnya transparansi, kredibilitas dan tanggungjawab negara terhadap warga negaranya yang sedang bekerja baik diwilayah darat maupun laut.

“Aktivitas perpanjangan ijin untuk melaut bagi nelayan dianggap sangat janggal dan tidak memberi ruang kemudahan bagi nelayan dalam pengurusan ijin.”tuturnya dalam rilis yang diterima,Fokuspantura.com, Minggu(11/2/2018)

Terbukti dalam proses pengurusan ijin SIPI, SLO, PHP dan PNBP, banyak hal-hal yang sangat perlu dipertanyakan, seperti prosedur syarat, arah, metode pembayaran dan jumlah yang tidak normal. Terutama pelanggaran dalam proses penetapan jumlah PNBP yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Perikanan dan Kelautan No. 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Menurutnya, ketentuan UU 45 tahun 2009 Pasal 27 ayat 3 setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI wajib membawa SIPI asli.

Dalam ayat 5 juga disebutkan kewajiban memiliki SIPI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau membawa SIPI asli sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak berlaku bagi nelayan kecil.

Sementara Pasal 28A, yang berbunyi bahwa Setiap orang dilarang: a). memalsukan SIUP, SIPI, dan SIKPI; dan/atau: b). menggunakan SIUP, SIPI, dan SIKPI palsu.

“Untuk mempertegas aturan undang-undang tersebutm maka peran dan tanggungjawab Kementerian Kelautan dan Perikanan dijelaskan pada Pasal 32 berbunyi bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia,”imbuhnya.

Data dari lapangan di wilayah Tegal selama proses perizinan di Gerai beberapa hari ini, bahwa adanya dugaan kesalahan dalam proses pengurusan, seperti syarat – syarat dokumen menggunakan ketentuan alat tangkap Gillnet Oceanik sementara dilapangan alat tangkapnya Cantrang.

Ia menjelaskan, saat pengurusan ijin banyak nelayan di Tegal Jawa Tengah mengeluhkan sistem ini, sementara transaksi pembayaran juga kemungkinan diduga/asas praduga tidak ditujukan untuk Kas Pendapatan Negara. Karena pola dan sistem pembayaran yang diragukan itu, misalnya Peraturan SLO, SIPI, dan PNBP dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Sementara metode dan syarat pembayaran dikeluarkan Kementerian Keuangan. Kalau PHP ditentukan oleh Kementerian Perdagangan. Proses inilah yang membuat nelayan sangat risau terhadap pola tidak transparansinya pengurusan ijin SLO dan SIPI.

“Kalau PNBP memang kebijakan KKP tetapi ini tidak sesuai Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015. Biaya PNBP dan PHP Gilnet dihitung per GT, misalnya 1 GT jumlahnya 980.000. Jumlah bayaran PPP dan PHP mengacu pada PP No. 75 Tahun 2015. Permisalan ini terjadi dilapangan aturan Gilnet diterapkan untuk Cantrang.”tuturnya.

Oleh karena itu, nelayan sangat membutuhkan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia untuk segera melakukan pengawasan terhadap apapun yang menjadi masalah dalam pengelolaan dan pungutan termasuk formulasi APBN.

“Sungguh penting pengawasan itu karena terkait dengan dana negara yang jumlahnya besar. Kita bisa bayangkan, nelayan mengurus ijin untuk melaut saja sudah sangat mengeluh atas membengkaknya syarat persetujuan SLO dan SIPI. Transparansi dan keterbukaan sangat penting, kita bisa hitung dimulai dari PHP-nya untuk kapal ukuran >60 – 200 GT = 10% x Produktivitas x besaran GT x HPI dan dibedakan berdasar jenis alat tangkap yang digunakan/diijinkan.”tandasnya.

Maka, berdasarkan pantauan dilapangan bahwa hitungan dan penarikan syarat-syarat itu tak sesuai sesuai Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015. Di lapangan terjadi dan fakta seperti itu. Artinya ada proses pelanggaran terhadap Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015.

Dalam beberapa studi kasus, kata Rusdiantoro bahwa dalam pengurusan semua beban biaya berbeda ketika alat tangkapnya berbeda. Hal ini bisa saja berbeda terapannya dilapangan antara daerah Tegal, Rembang, Lamongan, dan luar pulau Jawa. Karena masing-masing alat tangkap punya hitungan Produktivitas per GTnya, jenis ikannya dan Harga Patokan Ikan (HPI)-nya juga berbeda. Yang jelas di Direktorat Jenderal Perijinan Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah diset-up formulanya berdasarkan jenis alat tangkap dan kelas usahanya, sesuai ukuran, seperti >30~60; >60~200; dan >200 GT.

Bahkan, yang membuat nelayan pertanyakan proses itu karena PNBP Perikanan Tangkap terdiri dari PPP untuk SIUP dan PHP untuk SIPI semua dikenai biaya. Yang lebih fatalnya lagi ketika dalam point Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015 disebutkan bidang Pukat Tarik, namun tarif PHP-nya tidak ada. Jadi aneh, sementara yang diurus ijin-nya adalah CANTRANG.

Jadi semua pelaku perikanan tangkap dan budidaya harus hitung secara benar dan baik. Kewajiban bedakan alat tangkap antara peraturan alat tangkap Gill Nets Oceanik dengan Cantrang. Jangan sampai aturan yang salah itu diterapkan, seharusnya peraturan Pukat Tarik Cantrang diterapkan di Cantrang. Bukan alat tangkap Gill Nets diterapkan di Cantrang, ini termasuk pungutan liar.

Menurutnya, konteks gerai perijinan penerbitan surat ijin melaut SLO dan SIPI, di gerai itu pemilik kapal akan ditanya kesanggupan, kalau akan beralih kira-kira pilihan alat tangkap apa yang akan dipilih oleh pemilik kapal, ya tentu yang diijinkan pemerintah. Maka, pilihan itulah sebagai beban pembayaran. Tetapi alat tangkap masih cantrang. Anehkan. Coba lihat syarat pengurusan iji. khusus pukat tarik di Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015 tidak disebutkan nominal dan pembiayaannya pun berbeda.

Apabila mengacu pada perhitungan PPP dan PHP yang masih menggunakan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2006 sebelum Peraturan Pemerintah No. 75 tahun 2015. Tinggal ganti perkaliannya sesuai dengan kapal yang masuk dalam daftar ijin dikalikan Harga Patokan Ikan (HPI). Maka, pasti ketemu angka besaran pengeluaran dalam pengurusan ijin.

Sementara daftar tarif merupakan hasil resume perhitungan PHP per GT yang dibuat oleh KKP, berdasarkan jenis alat tangkap yang saat ini msh diijinkan, sedang untuk alat tangkap lain yang telah dilarang berdasar Permen KP 71/2016 tidak lagi dimasukkan dalam daftar tersebut, meski di dalam Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2015 masih dicantumkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Mau copas berita, silahkan izin dulu
Mau copas berita, silahkan izin dulu