Oleh: H.Urip Sucipto
Pengamat Hukum Kabupaten Indramayu
A. Kewenangan Penahanan
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Penyidik, Jaksa Penuntut Umum maupun Hakim Pengadilan berwenang melakukan penahan terhadap tersangka atau terdakwa.
Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana (Pasal 21 ayat (1)). Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana :
Pasal 44:
Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai
berikut:
a. tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri;
b. tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya;
c. tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan
d. tersangka diperkirakan mempersulit Penyidikan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 ayat (4) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan Pasal 506 Kitan Undang-Undang Hukum Pidana. Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-Undang Nomor 8 Drt Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41. Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Adapun jenis penahanan dapat berupa :
a. penahanan rumah tahanan negara;
b. penahanan rumah;
c. penahanan kota.
B. Penangguhan Penahanan
Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (1), UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, (“KUHAP”) yang berbunyi atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
Dengan demikian, untuk seseorang mendapat penangguhan penahanan, harus ada:
a. Permintaan dari tersangka atau terdakwa;
b. Permintaan penangguhan penahanan ini disetujui oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim yang menahan dengan atau tanpa jaminan sebagaimana ditetapkan;
c. Ada persetujuan dari tersangka/terdakwa yang ditahan untuk mematuhi syarat dan jaminan yang ditetapkan.
Mengenai syarat penangguhan penahanan ini selanjutnya dapat kita lihat pada penjelasan Pasal 31 ayat (1) KUHAP yaitu, tersangka/terdakwa:
– wajib lapor;
– tidak keluar rumah;
– tidak keluar kota.
C. Pencabutan Penangguhan Penahanan
Penyidik, penuntut umum, dan hakim berwenang memberikan penangguhan penahanan, sebaliknya berwenang pula sewaktu-waktu mencabut kembali penangguhan penahanan. Akan tetapi tentu harus diingat, pencabutan kembali penangguhan tidaklah dapat dilakukan sewenang-wenang. Harus ada dasar “alasan yang layak” mencabut kembali penangguhan.
Hal ini diperingatkan Pasal 31 ayat (2) KUHAP, yang memberi pedoman kepada para pejabat yang berwenang, bahwa mereka dapat bertindak melakukan pencabutan penangguhan dalam hal tersangka atau terdakwa “melanggar” syarat-syarat yang ditentukan. Berarti kalau tersangka atau terdakwa tidak melanggar syarat-syarat penangguhan, tidak ada alasan bagi pejabat yang bersangkutan untuk melakukan pencabutan penangguhan.
Pasal 31 itu sendiri, yang berbunyi:”Yang dimaksud dengan syarat yang ditentukan ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau keluar kota”. Mempunyai pengertian sama dengan penangguhan penahanan dengan syarat tidak boleh keluar rumah atau keluar kota.
Dengan adanya syarat penangguhan tidak boleh keluar kota, pada hakikatnya tidak lain daripada “pengalihan” jenis penahanan, atau sama dengan jenis penahanan rumah ataupun jenis penahanan kota.
Pencabutan Penangguhan Penahanan, Berdasarkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
Perihal Pencabutan Penangguhan Penahanan ini, nampaknya lebih diperjelas berdasarkan Peraturan Kapolri tersebut di atas, yang diatur dalam Pasal 48 sebagai berikut :
Pasal 48
(1) Terhadap tersangka yang telah diberikan penangguhan penahanan, dapat dilakukan penahanan kembali melalui penerbitan surat perintah pencabutan penangguhan penahanan yang ditandatangani oleh Penyidik atau Atasan Penyidik selaku Penyidik.
(2) Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan dikeluarkan karena tersangka telah melanggar persyaratan penangguhan penahahan.
(3) Surat perintah pencabutan penangguhan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diterbitkan surat perintah penahanan lanjutan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
Pasal 49
(1) Untuk kepentingan Penyidikan dan/atau kepentingan tersangka, penyidik dapat melakukan pengalihan jenis penahanan dari penahanan rumah tahanan negara menjadi penahanan rumah atau kota.
(2) Pengalihan jenis penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan dengan pertimbangan:
a. permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum disertai alasannya;
b. hasil pemeriksaan medis tentang kondisi kesehatan tersangka; dan
c. rekomendasi hasil gelar perkara.
(3) Pengalihan jenis penahanan wajib dilengkapi dengan surat perintah pengalihan jenis penahanan yang dikeluarkan oleh Penyidik atau Atasan Penyidik selaku Penyidik.
Pasal 50
(1) Dalam hal tahanan yang karena kondisi kesehatannya membutuhkan perawatan secara intensif dan/atau rawat inap di rumah sakit, dapat dilakukan pembantaran penahanan.
(2) Pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilengkapi dengan surat perintah pembantaran penahanan yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diterbitkan dengan pertimbangan:
a. hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan bahwa tersangka perlu dilakukan perawatan di rumah sakit; atau
b. permohonan dari tersangka/keluarga/penasihat hukum untuk kepentingan perawatan kesehatan yang dilampiri catatan kesehatan.
(4) Surat perintah pembantaran penahanan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
Pasal 51
(1) Apabila kondisi kesehatan tersangka yang dibantarkan penahanannya telah membaik, dilakukan pencabutan pembantaran penahanan dan dilakukan penahanan lanjutan.
(2) Pencabutan pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diterbitkan surat perintah pencabutan pembantaran yang dikeluarkan oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pencabutan pembantaran penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan berdasarkan pertimbangan hasil pemeriksaan dokter yang menyatakan kondisi kesehatan tersangka telah membaik, dan diterbitkan surat perintah penahanan lanjutan.
Pasal 52
(1) Surat perintah penahanan lanjutan ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(2) Surat perintah penahanan lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikeluarkan dengan pertimbangan:
a. tersangka yang diberikan pembantaran telah sehat kembali sedangkan tindakan penahanan masih diperlukan; dan
b. tersangka yang dibantarkan telah melarikan diri dan berhasil ditangkap kembali.
Pasal 53
(1) Tahanan dikeluarkan dari Rutan dengan pertimbangan:
a. masa penahanan sudah habis atau demi hukum;
b. tersangka diserahkan ke Penuntut Umum;
c. dipindahkan/dititipkan ke Rutan lainnya;
d. ditangguhkan penahanannya;
e. dibantarkan penahanannya karena sakit; atau
f. adanya keputusan hakim praperadilan yang memerintahkan untuk mengeluarkan tersangka dari tahanan.
(2) Pengeluaran tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilengkapi dengan surat perintah pengeluaran tahanan yang ditandatangani oleh penyidik atau atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah pengeluaran tahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib dibuatkan berita acara pengeluaran tahanan.
Kajian Penulis :
Mengenai pencabutan penangguhan penahanan ini, menurut kajian penulis sebagai pengamat hukum, adalah sebagai berikut :
Bahwa pencabutan penangguhan penahanan terhadap tersangka, tidak hanya berdasarkan pelanggaran terhadap Pasal 31 ayat (2) KUHAP, yang memberi pedoman kepada para pejabat yang berwenang, bahwa mereka dapat bertindak melakukan pencabutan penangguhan dalam hal tersangka atau terdakwa “melanggar” syarat-syarat yang ditentukan (ialah wajib lapor, tidak keluar rumah atau keluar kota), melainkan yang lebih esensiil yaitu bahwa tersangka telah melakukan pelanggaran sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (1), yaitu kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana juncto Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana :
Pasal 44:
Tindakan penahanan terhadap tersangka dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
a. tersangka dikhawatirkan akan melarikan diri;
b. tersangka dikhawatirkan akan mengulangi perbuatannya;
c. tersangka dikhawatirkan akan menghilangkan barang bukti; dan
d. tersangka diperkirakan mempersulit Penyidikan.
Jadi apabila seorang tersangka yang sudah dikabulkan permohonan penangguhan penahanannya kemudian melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (1) juncto Pasal 44 Peraturan Kapolri tersebut di atas, maka penyidik, berdasarkan kewenangannya dapat melakukan Pencabutan Penangguhan Penahanan terhadap tersangka.
D. Alat Bukti
KUHAP memang tidak menjelaskan lebih lanjut tentang definisi ‘bukti permulaan’, namun KUHAP secara jelas mengatur tentang alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 184 KUHAP, yaitu meliputi:
(1) keterangan saksi,
(2) keterangan ahli,
(3) surat,
(4) petunjuk,
(5) keterangan terdakwa.
Dalam proses penyidikan hanya dimungkinkan untuk memperoleh alat bukti yang sah berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Sementara, alat bukti berupa petunjuk diperoleh dari penilaian hakim setelah melakukan pemeriksaan di dalam persidangan, dan alat bukti berupa keterangan terdakwa diperoleh ketika seorang terdakwa di dalam persidangan, sebagaimana hal tersebut jelas diatur di dalam ketentuan Pasal 188 ayat (3) KUHAP dan ketentuan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Apabila di dalam suatu proses penyidikan terdapat laporan polisi dan satu alat bukti yang sah maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka, dan alat bukti yang sah yang dimaksud tersebut dapat berupa keterangan saksi, keterangan ahli dan surat. Selain itu, perlu ditekankan jika ‘keterangan saksi’ yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah tidak terlepas dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) dan ayat (3) KUHAP serta asas unus testis nullus testis (satu saksi bukan saksi).
Keterangan seorang saksi saja tidak dapat serta merta dapat menjadi satu alat bukti yang sah, karena harus disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Itupun haruslah bersesuaian dengan alat bukti yang lain yang telah ada, sebagaimana lebih lanjut diatur dalam ketentuan Pasal 185 ayat (6) KUHAP, sebab kinerja penyidik dalam mengumpulkan alat bukti yang sah tersebut sebagai “bahan baku” bagi hakim untuk memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana
Bilamana telah terdapat laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP, maka seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka.
Menurut ketentuan Perkap Nomor 14 Tahun 2012, yang dimaksud sebagai bukti permulaan yang cukup yaitu laporan polisi didukung dengan satu alat bukti yang sah dengan turut memperhatikan ketentuan Pasal 185 ayat (3), Pasal 188 ayat (3) dan Pasal 189 ayat (1) KUHAP.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 21/PUU-XII/2014 Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.
Sejalan dengan itu, mengacu pada ketentuan Pasal 183 KUHAP, bahwa : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Menurut kajian penulis, karena setiap proses hukum (litigasi) itu muara akhirnya di pengadilan, dan hakim pengadilanlah yang pada akhirnya mempunyai kompetensi untuk menentukan, maka frasa “bukti permulaan”; “bukti permulan yang cukup” maupun “bukti yang cukup”, harus dimaknai dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sesuai dengan ketentuan alat bukti yang tercantum dalam Pasal 184 KUHAP.
Alat-alat bukti menurut KUHAP dalam Pasal 184 ayat (1) :
1) Keterangan Saksi
Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuan itu. Di dalam penggolongannya, keterangan saksi ini dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu kelompok yang secara absolut tidak boleh menjadi saksi dan kelompok yang secara relatif tidak boleh menjadi saksi, artinya dengan syarat-syarat tertentu atau konsekuensi tertentu kelompok relatif dapat didengar kesaksiannya.
– Yang tidak cakap menjadi saksi secara absolut
Diantaranya anak yang belum berumur 15 tahun dan belum pernah kawin, orang jiwanya atau ingatannya, meskipun ingatannya kadang-kadang baik;
– Yang tidak cakap menjadi saksi secara relatif
Diatur dalam Pasal 168 KUHAP, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini;
– Di samping tidak cakap secara absolut maupun relatif
Juga terdapat pihak-pihak yang karena jabatan, pekerjaan, harkat dapat meminta dibebaskan sebagai saksi terhadap hal-hal yang dipercayakan kepada mereka, hakimlah yang memutus sah atau tidaknya alasan tersebut (Pasal 170 ayat (1) dan (2) KUHAP).
Dalam menilai kesaksian, hakim akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
– persesuaian antara keterangan saksi satu dengan saksi yang lain;
– persesuaian keterangan saksi dengan bukti yang ada;
– alasannya mungkin digunakan oleh saksi dalam memberikan keterangannya di persidangan;
– cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya apa mempengaruhi dalam memberikan kesaksian.
2) Keterangan Ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuata tentang sesuatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan menurut cara yang diatur dalam Undang-undang (Pasal 1 ke 28 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana), tidak semua keterangan ahli dapat dinilai sebagai alat bukti, malainkan yang dapat memenuhi syarat-syarat kesaksian adalah yang diberikan di muka persidangan (Pasal 186 KUHAP);
3) Alat Bukti Surat
Pasal 186 KUHAP menyebutkan surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c dibuat atas sumpah jabatan atau dikutipkan dengan sumpah, adalah :
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari sesorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai Sesutu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dari isi alat pembuktian yang lain.
4) Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindakan pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat (2) KUHAP). Petunjuk sebagaimana tersebut dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh :
a. keterangan saksi;
b. surat; dan
c. keterangan terdakwa.
Penulisan atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif dan lagi bijaksana, adalah setelah mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksian berdasarkan hati nurani (Pasal 188 ayat (3) KUHAP).
5) Keterangan Terdakwa
Pasal 189 KUHAP, menegaskan :
1. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri;
2. Keterangan terdakwa di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menentukan bukti di sidang asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah, sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya;
3. Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai alat bukti yang lain.
Terkait