JAKARTA,(Fokuspantura.com),- Ketua Umum Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia, Siti Fikriyah K, menjawab pernyataan Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika terkait 0 persen capaian Reforma Agraria Joko Widodo selama ini. Pernyataan tersebut disampaikan sebagai pembanding agar menjadi terang benderang dan obyektif.
“Reforma Agraria adalah seluruh upaya untuk mengatasi struktur ketimpangan penguasaan lahan. Di dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo kebijakan Reforma Agraria diterjemahkan dalam beberapa program operasional,” katanya dalam rilis yang diterima Fokuspantura.com, Selasa(24/9/2019).
Pertama, program pendaftaran tanah melalui sertifikasi (bagi-bagi sertifikat) dalam rangka menjamin kepastian hukum dan perlindungan hukum sebagai pelaksanaan dari kewajiban pendaftaran tanah, sebagaimana UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
“Ini adalah program harian kementerian agraria, sekarang dinamakan PTSL, sebelumnya disebut Prona,” tuturnya.
Kedua, redistribusi lahan. Redistribusi lahan bersumber dari dua sumber yaitu tanah non hutan di bawah kewenangan ATR dan tanah kawasan hutan di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ia menjelaskan terkait data target redistribusi tanah non hutan dalam RPJMN adalah seluas 4,5 juta hektar, terdiri dari 400 ribu hektar tanah terlantar, HGU habis, penyelesaian konflik dan lain – lain serta 4,1 juta hektar berasal dari tindaklanjut pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLKH) kemudian diserahkan dan ditindaklanjuti oleh Kementerian ATR.
“Pada tahun-tahun pertama Pemerintahan Jokowi, terdistribusi lahan eks HGU terlantar dan penyelesaian konflik kurang lebih 1000 hektar,” terangnya.
Selanjutnya, redistribusi eks HGU dilaksanakan seperti di Badega, Garut, wilayah konflik lama sejak masa Orba baru selesai di masa Jokowi. Redistribusi juga dilaksanakan pada lokasi eks HGU terlantar PT Tratak, Batang yang diadvokasi oleh Omah Tani Batang. Hal yang sama sebentar lagi juga akan dilaksanakan di lahan eks HGU terlantar, Pemalang, petani didampingi Yayasan Mitra Desaku Mandiri.
Ia menjelaskan, Kementerian ATR sendiri merilis setidaknya telah meredistribusi sebanyak 215.867 hektar eks HGU.
“Data dapat dikonfirmasi kembali kepada Kementerian ATR,” tuturnya.
Baca Juga : http://fokuspantura.com/swasembada/2470-kado-harlah-ke-4-sptib-terima-sertifikat-lahan-kehutanan
Namun demikian, pihaknya memberikan catatan bahwa sebenarnya lahan terlantar di Indonesia pada tahun 2012, di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono(SBY), kepala BPN telah menginventarisasi tanah terlantar dari HGU, HGB, Hak Pakai dan ijin-ijin lokasi seluas 4,8 juta.
Pertanyaannya, mengapa dalam RPJMN 2015 hanya ditargetkan 400.000 hektar, bagaimana sisa lahan yang inventarisasi sebelumnya yaitu seluas 4,4 juta hektar?, maka Kementerian ATR harus bersikap transparan kepada Presiden dan masyarakat atas data tersebut.
Kemudian, target redistribusi dari sumber tanah kawasan hutan seluas 4,5 juta hektar. Capaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagaimana disampaikan Mantan Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan KLHK tahun 2016-2017, Profesor San Afri Awang menyampaikan telah melepaskan seluas 707.000 hektar melalui tata batas kawasan.
“Seharusnya KLHK telah menyampaikan kepada ATR dan Pemerintah Daerah agar ditindaklanjuti dengan sertifikasi lahan tersebut,” ungkapnya.
Maka, sisanya masuk tahap inventarisasi dan verifikasi seluas 993.199 hektar dan non inventarisasi dan verifikasi berupa fresh land dan karenanya perlu didiskusikan lebih lanjut untuk masuk dalam kriteria tanah objek reforma agraria atau bukan yaitu seluas 1,4 juta hektar.
Namun demikian pihaknya mencatat bahwa komunikasi antara KLHK dengan ATR tidak berjalan baik sehingga capaian-capaian tersebut belum ditindaklanjuti secara konkrit.
“Sebagai catatan seluruh data angka-angka di atas dapat dikonfirmasi kembali kepada ATR dan KLHK,”imbuhnya.
Ia menegaskan, upaya Presiden melalui Menteri LHK mengatasi persoalan tenurial di kawasan hutan negara yang kondisi ekologinya kritis namun tidak mungkin untuk dilepaskan dari statusnya atau bahasa sederhananya tidak mungkin diredistribusikan dalam bentuk sertifikat lahan patut dihargai. Hal tersebut khususnya di hutan negara di Jawa yang selama ini dikelola Perum Perhutani. Kawasan hutan negara di Jawa dalam kondisi kritis secara ekologi, terdeforestasi dan terdegrasi, terbuka atau gundul bertahun-tahun sekitar 1,127 juta hektar (hampir setengah kawasan hutan negara di Jawa), namun terdapat batasan UU sehingga tidak dapat dilepaskan serta batasan ekologi, pelepasan kawasan hutan negara di Jawa tidak menjamin pemulihan ekologi yang kritis.
Terobosan Presiden tersebut, kata Fikriyah, merupakankebijakan perhutanan sosial skema Ijin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) kepada petani penggarap di dalam dan sekitar hutan selama 35 tahun dengan pendampingan intensif oleh para pendamping lapangan.
Maka, Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial memandang perhutanan sosial IPHPS adalah reforma agraria di kawasan hutan negara di Jawa. Negara memberikan akses legal kepada petani yang sebelumnya dianggap illegal memanfaatkan hutan, sekaligus memberikan pendampingan agar petani dapat memulihkan hutan (ekologi) dan mendapatkan manfaat secara ekonomi.
Menurutnya, Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial telah mendampingi petani perhutanan di lebih dari 22 kabupaten. SK IPHPS yang telah diterbitkan bagi petani anggota Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia mencapai hampir 20.000 hektar setara dengan hampir 20.000 KK penerima SK.
Saat ini petani penerima SK IPHPS telah dapat mengakses program bantuan benih tanaman pangan seperti jagung (sebelumnya puluhan tahun mereka tak pernah dapat akses bantuan benih), bantuan kebun bibit rakyat untuk bibit tanaman kayu dan buah-buahan, bantuan alat ekonomi produksi untuk peningkatan hasil olahan tani, bantuan ternak, akses kredit perbankan, akses pembiayaan pembangunan hutan (BLU P2H), dan lain-lain.
Mereka juga akan dan telah menjalin kerjasama usaha dengan sektor usaha/swasta untuk industri kayu dan olahan produk tani lainnya. Ke depan kami optimis dapat membangun sektor industri perkayuan, industri pangan, pakan, wisata dan lain-lain. Rakyat akan makmur dan hutan akan kembali subur.
Oleh karena itu, Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial Indonesia mendukung sepenuhnya program Jokowi memberikan Perhutanan Sosial skema ijin pemanfaatan hutan perhutanan sosial(IPHPS) dan meminta percepatan pencapaian perhutanan sosial.
“Pada Oktober mendatang, puluhan ribu petani perhutanan sosial akan turun ke Jakarta untuk menuntut komitmen Presiden terhadap percepatan perhutanan sosial (IPHPS),”pungkasnya.
Sebelumnya, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menyampaikan hasil pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo di Istana Negara terkait tuntutan petani yang berdemonstrasi di depan Istana Negara sekaligus memperingati Hari Tani Nasional.
Dewi menyebut Jokowi sama sekali tidak tahu soal tak ada satu sentimeter lahan dari program Reforma Agraria yang telah dibagikan kepada petani. Padahal saat program digaungkan lima tahun lalu, pemerintah menjanjikan akan mendistribusikan 9 juta hektare lahan bagi para petani.
“Kita sampaikan Reforma Agraria itu macet. Janji itu macet. Hasilnya adalah nol hektare yang sampai ke masyarakat. Tidak ada. Beliau tadi kaget masih nol hektare padalah sudah lima tahun berjalan,” kata Dewi di Silang Monas seberang Istana Negara, Jakarta Pusat, Selasa (24/9/2019) usai bertemu dengan Jokowi seperti dilansir CNN Indonesia.com.