JAKARTA, (Fokuspantura.com),- Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melalui jaringan pengurus di daerah – daerah usai melakukan pemantauan pelaksanaan UNBK tingkat SMK pada pekan kemarin, kini telah menerima sejumlah pengaduan terkait persiapan pelaksanaan UNBK SMA tahun 2018 yang berlangsung,Senin(9/4/2018) hingga 12 April 2018 mendatang.
“Bahkan, diprediksi SMA akan berpotensi mengalami kendala teknis, mengingat jumlah peserta dan sekolahnya lebih banyak dibandingkan SMK.,” Ujar Sekjen FSGI, Heru Purnomo.
Dari pantauan FSGI dan jaringannya, persiapan UNBK SMA baik di Jakarta, Jawa Tengah, Nusa Tengara Barat, dan Bengkulu. Secara umum persiapan sudah baik, namun masih diwarnai kesulitan sinkronisasi karena kesiapan teknisi yang kurang memadai khususnya di MA, kekurangan jumlah computer sehingga sekolah harus pinjam ke pihak-pihak lain, dan biaya tambahan yang lebih besar dibandingkan jika UN berbasis kertas, apalagi sebagian besar melakukan UNBK dalam 3 sesi walaupun ada yang 1 sesi seperti sekolah swasta di Jakarta.
Kekurangan Sarana Komputer dan Server di Sejumlah Daerah
Adapun kesiapan komputer sebagai sarana UNBK SMA di 2018 menurut pantauan FSGI di wilayah jaringannya dalam kondisi siap.
Dengan kesiapan sarana CBT dalam UN besar harapannya agar kendala teknis pada pelaksanaan UNBK SMK tidak terulang. Jika terulang kembali seperti listrik padam atau kendala lain sehingga pelaksanaannya menjadi mundur, akan berakibat lelahnya fisik dan psikologis siswa dalam menunggu. Potensi ini bisa berulang, mengingat penyelenggara UNBK SMA jumlahnya jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan UNBK SMK.
Dari tahun ke tahun UNBK menjadi cerminan yaitu cermin penerintah khususnya Kemdikbud dalam menyediakan pelayanan sarana pendidikan dan kwalitasnya untuk menyongsong pendidikan ke depan.
“Yang terkait pantauan FSGI dari persiapan sarana UNBK SMA persentasenya sekitar 71% menunjukkan kesiapan sarana CBT yg berasal dari sekolah tersebut. Adapun 29% minim komputer sehingga sebagai penyelenggara UNBK SMA harus meminjam dari siswa, guru, dan sekolah lain,” ujar Fahmi Hatib, Presidium FSGI.
Berdasarkan laporan dari jaringan FSGI, misalnya di SMAN 9 Kota Bengkulu, komputer yang disediakan sekolah hanya 10 unit. Sedangkan sebanyak 40 unit komputer dipinjam dari siswa.
Kemudian di SMAN 1 Monta, Bima, NTB. Sekolah hanya mampu menyediakan 28 unit komputer, sedangkan 9 unit dipinjam dari guru, lalu dipinjam dari SMK terdekat 10 unit dan SMP terdekat 19 unit.
Begitu juga ceritanya di SMAN 1 Gunung Sari, Lombok Barat. Sekolah terpaksa meminjam 30 unit komputer dari SMK dan 20 unit dari SMP. Hal tersebut dilakukan karena sekolah hanya mampu menyediakan 47 unit komputer.
Adapun, SMAN 6 Mataram (NTB) terpaksa meminjam computer ke SMPN terdekat, krena jumlah peserta UNBK nya mencapai 361 orag, tetapi sekolah hanya memiliki 80 unit computer dan 4 server. Untuk melaksanakan 3 sesi ujian maka sekolah terpaksa meminjam 40 lebih computer ke sekolah lain.
“Khusus di MA Swasta, sebagian besar mereka mendapat pinjaman laptop client dari siswa, dan penyiapan instal VHD dan sinkronisasinya masih banyak harus dibantu tim Helpdesk Kab/Kota atau Propinsi melalui Remote Dekstop tim viewer (TV), dan banyak yang harus mengalami unlock server karena kesalahan instal. Hingga H-1 juga masih terdapat beberapa MA yang belum melakukan sinkronisasi. Hal ini menunjukkan disamping minimnya sarana juga sosialisasi dan edukasi tentang UNBK belum merata,” ujar Mansur, pengurus SGI Mataram yang merupakan jaringan FSGI di Nusa Tenggara Barat.
“Potret penyelenggaraan UNBK yang minim komputer sebagai sarana pendidikan, kendala-kendala teknis, jaringan internet dan lainnya tentu tidak akan mampu melayani pendidikan berbasis IT dengan baik. Bagaimana SMA tersebut mau mengantar siswanya di masa depan yg berorientasi kerja berbasis Digital, Komputerisasi dan robotik, seperti yg sering digaungkan oleh pemerintah, tentang pendidikan di era Revolusi Industri Generasi ke Empat (4.0). Jika diukur dari kekurangan kesiapan dalam UNBK ini, tampak sekali jika kampanye tentang Revolusi Industri 4.0 sangat paradoks dengan realita kesiapan masyarakat Indonesia, khususnya di bidang pendidikan,” ungkap Satriwan Salim, Wakil Sekjen FSGI yang juga guru di SMA Labshool Rawamangan, Jakarta.
“Bagaimana sekolah-sekolah yang melaksanakan UN berbasis kertas. Yang artinya mereka tidak mempunyai sarana CBT, sehingga pembelajaran berbasis IT hampir tak tersentuh. Begitu juga nasib sekolah-sekolah di wilayah terpencil yang melaporkan keberadaan sekolahnya kepada FSGI dengan penuh keterbatasan,” kritik Heru Purnomo yang juga pengajar di SMPN 106 Jakarta.
Ditemukan Sekolah Keluarkan Biaya Tambahan
Ternyata pembiayaan UNBK jika dibandingkan dengan UN berbasis kertas, ada sekolah mengaku mengeluarkan biaya yang lebih banyak.
“Biaya-biaya tersebut tidak hanya harus mengeluarkan honor dan konsumsi panitia dan pengawas, untuk UNBK perlu tambahan biaya Honor proctor, teknisi, biaya sinkronisasi, pengadaan modem, Modem, biaya pengamanan 24 jam agar computer atau laptop tidak di curi, biaya penambahan daya bagi sekolah yang belum memenuhi minimal daya listrik,” urai Mustajib, Ketua SGI Mataram.
“Belum lagi sarana lain seperti penyediaan genset dan solar untuk berjaga-jaga ketika listrik mati. Belum lagi biaya simulasi dan tryout sebelum UNBK dilaksanakan,” tambah Eka, Ketua SGI Bima.
Rekomendasi FSGI
Berkaitan dengan berbagai kendala teknis di atas, maka FSGI memberikan rekomendasi kepada pemerintah terkait permasalahan UNBK ini, sebagai berikut :
Pertama: Pemerintah harus serius dalam penyediaan sarana komputer di sekolah dengan memberikan stressing khusus pembelian komputer dari dana BOS seperti halnya 20% BOS untuk Buku K-13. Kedua: Pemerintah juga harus melakukan edukasi kepada proktor dan teknisi sekolah secara merata seperti jenjang pelatihan K-13 yang sudah dilakukan.
Kedua : Hasrat untuk menyiapakan generasi bangsa memasuki era Revolusi Industri 4.0, harus dibarengi dengan keterasediaan sarana-prasarana berbasis TIK/Komputer, termasuk akses internet yang baik. Jika prasyarat di atas tak dipenuhi, setidaknya yang diukur dalam pelaksanaan UNBK ini, maka generasi yang siap memasuki industri 4.0 hanya sebatas angan-angan belaka.
Ketiga : Kemendikbud seyogyanya melakukan koordinasi dengan Kemenag karena FSGI menemukan adanya perbedaan struktur dasar program yang digunakan pada UAMBN dengan UNBK sehingga cukup menyulitkan proktor MA untuk sinkron ke UNBK.
Terkait