KEJADIAN viral pekan ini dalam konteks politik Indramayu sangat menyita perhatian public. Video beredar di mana-mana dengan narasi yang berbeda dan interpretasi yang sangat liar sesuai dengan kepentingan politik masing-masing.
Kejadian yang melibatkan calon Bupati incumbent Indramayu Nina Agustina di Kecamatan Sukra Indramayu beserta rombongannya dengan pendukung calon bupati Lucky Hakim ini memang menarik untuk dianalisis, terutama dalam konteks politik lokal dan dinamika kekuasaan.
Psikologi Pemimpin dalam Kontestasi Politik
Beberapa poin yang mungkin relevan dalam analisis ini misalnya bisa dikedepankan bahwa:
Pertama, Penggunaan Simbolisme dalam Politik. Di beberapa wilayah, simbol-simbol tangan atau angka tertentu bisa sangat terkait dengan kandidat atau kelompok tertentu.
Dalam kasus ini, pengacungan dua jari yang diasosiasikan dengan pendukung Lucky Hakim dapat dianggap sebagai aksi yang menantang atau provokatif bagi Nina Agustina dan pendukungnya. Simbolisme seperti ini sering kali menimbulkan respons emosional dari pihak yang berseberangan, terutama menjelang pemilihan atau saat ketegangan politik tinggi. Apalagi itu dilakukan pada iring-iringan Nina-Agustina dan pendukungnya.
Kedua, Pengaruh Status dan Kekeluargaan. Nina Agustina menyebutkan dirinya sebagai “anaknya Da’i Bahtiar” ketika melaporkan kejadian ini. Ini bisa menunjukkan bagaimana status atau keturunan masih dipandang sebagai faktor penting dalam legitimasi atau pengaruh di kalangan masyarakat Indonesia, terutama dalam struktur politik lokal.
Identitas keluarga sering kali dipakai untuk memperkuat posisi atau kredibilitas, yang dapat menjadi bagian dari strategi politik dalam membangun citra.
Ketiga, Peran Kapolres dan Tindakan Hukum. Dalam kasus ini, Nina Agustina seperti terlihat di video langsung melaporkan insiden tersebut kepada Kapolres, yang juga menunjukkan bagaimana kekuatan hukum kadang dimobilisasi dalam situasi politik yang tegang.
Langkah ini bisa dimaknai sebagai cara untuk menunjukkan bahwa ia masih memiliki otoritas dan dukungan di kalangan aparat keamanan, suatu langkah untuk menegaskan pengaruhnya di wilayah tersebut.
Keempat, Psikologi Pemimpin dalam Kontestasi Politik. Reaksi emosional seorang pejabat publik, seperti marah-marah di depan umum, bisa memberi gambaran tentang kondisi psikologis sang pemimpin di tengah tekanan atau persaingan.
Dalam analisis politik, respons emosional bisa dibaca sebagai tanda adanya kecemasan terkait ancaman terhadap kekuasaan atau popularitasnya.
Kelima, Pengaruh Publik dalam Kontestasi Lokal. Kejadian ini menunjukkan bagaimana aksi sederhana, seperti pengacungkan dua jari, dapat berdampak besar dalam konteks lokal.
Ini juga mencerminkan pentingnya mobilisasi dan strategi simbolis untuk mempengaruhi persepsi publik, yang sangat berperan dalam politik lokal.
Simbol Terzalimi?
Moment difragmentasikan bahwa beberapa calon bupati atau kepala daerah lainnya mempersonifikasikan dirinya sebagai sosok yang terzalimi.
Sikap pemimpin yang memposisikan dirinya sebagai pihak yang terzalimi bisa menjadi strategi yang kuat dalam membangun simpati publik, terutama jika dilakukan dengan cara yang tepat dan relevan dengan kondisi psikologis masyarakat yang ingin diperjuangkannya.
Namun, strategi ini juga memiliki risiko yang memerlukan kehati-hatian. Hal ini bisa dianalisis dari penggunaan citra “terzalimi” dalam konteks kepemimpinan politik:
Pertama, Efektivitas Strategi “Terzalimi”. Strategi untuk menampilkan diri sebagai sosok yang “terzalimi” sering kali digunakan oleh pemimpin atau kandidat politik untuk meraih simpati dari pemilih, terutama di kalangan yang memiliki pengalaman ketidakadilan atau penindasan.
Dalam konteks Indonesia misalnya, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhasil menggunakan strategi ini pada masa yang berbeda. Mereka berupaya membangun citra sebagai sosok yang melawan penindasan atau ketidakadilan.
Untuk Nina Agustina, jika ia ingin menggunakan strategi ini, pendekatan yang ia pilih harus relevan dengan perasaan atau kondisi masyarakat Indramayu saat ini. Apabila masyarakat merasa bahwa mereka juga mengalami ketidakadilan atau merasa termarjinalkan oleh pihak tertentu, maka citra ini bisa menjadi efektif.
Kedua, Risiko Penerapan Strategi. Strategi ini rentan terhadap persepsi negatif, terutama jika pemimpin tersebut memiliki akses atau latar belakang kekuasaan dan pengaruh yang kuat.
Dalam kasus Nina Agustina yang mengklaim statusnya sebagai “anaknya Da’i Bahtiar,” ada risiko masyarakat melihatnya bukan sebagai sosok yang terzalimi, melainkan sebagai seseorang yang justru memiliki akses ke jaringan kekuasaan. Dalam hal ini, untuk meyakinkan publik bahwa ia adalah sosok yang dipojokkan atau terancam, pendekatannya perlu sangat hati-hati dan penuh empati.
Terlebih lagi, penggunaan simbol atau retorika terzalimi dalam situasi yang kurang relevan atau berlebihan dapat menimbulkan citra yang kurang simpatik di mata publik. Misalnya, jika publik merasa bahwa respons emosional Nina terhadap pendukung rivalnya adalah tindakan berlebihan, justru hal ini dapat berbalik merugikan citranya.
Ketiga, Perbandingan dengan Megawati dan SBY. Megawati dan SBY berhasil menggunakan strategi ini karena mereka mampu memposisikan diri sebagai korban dari struktur kekuasaan yang lebih besar dan lebih kuat.
Megawati menghadapi Orde Baru yang mengisolasi keluarganya, sementara SBY berhasil membentuk citra sebagai sosok yang “disudutkan” oleh Megawati saat itu, terutama ketika ia mengundurkan diri dari kabinet.
Apabila Nina ingin mengikuti pola ini, ia perlu berhati-hati agar posisinya sebagai pemimpin dan anak dari tokoh penting tidak justru menjadi penghalang untuk mendapatkan simpati publik. Strateginya harus lebih terfokus pada narasi tentang ketulusan dalam melayani masyarakat, bukan sekadar bereaksi terhadap kritik atau tindakan dari rival politiknya.
Keempat, Kepemimpinan yang Empatik dan Responsif. Alih-alih bereaksi dengan amarah atau retorika yang menonjolkan status, pemimpin yang menginginkan citra terzalimi sebaiknya merespons dengan tenang, menampilkan ketabahan, dan menunjukkan bahwa ia tidak mudah goyah oleh provokasi. Dengan menunjukkan sikap rendah hati, empati, dan respons yang konstruktif terhadap kritik atau bahkan serangan politik, pemimpin tersebut dapat membangun citra yang lebih kuat dan menginspirasi.
Selain itu, pemimpin yang ingin mendapatkan simpati publik sebaiknya terlibat langsung dalam isu-isu yang menjadi perhatian warga, misalnya dengan turun ke lapangan untuk memahami permasalahan masyarakat. Sikap ini dapat membangun kepercayaan yang tulus dari rakyat, yang jauh lebih efektif daripada strategi berlebihan untuk mengklaim diri sebagai sosok yang “terzalimi.”
Kelima, Membangun Citra Berdasarkan Isu Rakyat. Salah satu pendekatan yang lebih efektif untuk menciptakan citra yang kuat adalah dengan memusatkan perhatian pada isu-isu yang dekat dengan kepentingan rakyat. Misalnya, jika ada masalah ekonomi, infrastruktur, atau pelayanan publik di Indramayu. Tentu Nina dapat mengalihkan fokusnya ke sana dan memperlihatkan kepada publik bahwa ia adalah pemimpin yang peduli dan berusaha memperbaiki keadaan.
Dengan cara ini, citra “terzalimi” yang ia tampilkan akan lebih otentik karena datang dari perjuangannya bersama rakyat, bukan sekadar respons terhadap aksi dari pendukung lawan politiknya.
Secara keseluruhan, membangun citra terdhalimi bisa efektif jika dikomunikasikan secara autentik, empatik, dan relevan dengan situasi sosial yang dihadapi masyarakat.
Pemimpin yang berhasil memanfaatkan citra ini adalah mereka yang mampu menunjukkan keteguhan di tengah tantangan, bukan semata-mata bereaksi secara emosional atau defensif terhadap tindakan pihak lain.
Pilihan di Tangan Rakyat
Kita tunggu, dinamika ini akan terus bergulir dengan menarik tapi tentu tanpa mengesamping rasio dan nalar yang sehat. Semua pilihan ada di tangan rakyat yang semakin cerdas, apakah rivalitas Nina Agustina-Tobroni dengan Lucky Hakim-Syaefuddin akan terus makin memanas dan menguntungkan keduanya atau jangan-jangan dengan tenang tapi pasti Bambang Hermanto-Kasan Basari dengan memanfaatkan situasi akan terus bergerilya untuk menarik simpati Masyarakat Indramayu.
Ketiga pasangan masih memiliki ruang dan waktu sampai dengan tanggal 27 Nopember 2024 untuk memastikan kontistuen memilihnya.
*)Penulis adalah dosen Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon dan tinggal di Kandanghaur Indramayu