PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2020 terasa sangat berbeda, karena perayaan Hardiknas kali ini dilakukan dengan konsep virtual. Tidak ada upacara darat seperti tahun-tahun sebelumnya, tetapi upacara dilaksanakan dan diikuti secara maya. Ini sesuai dengan Pedoman Penyelenggaraan Hardiknas Tahun 2020 disampaikan melalui surat Mendikbud Nomor 42518/MPK.A/TU/2020. Adapun tema Hardiknas tahun 2020 adalah “Belajar Dari Covid-19”, ini tema yang sangat tepat untuk refleksi tentang “Merdeka Belajar”, yang tahun lalu didengungkan oleh Mas Menteri Nadiem. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di era pandemic covid 19 ternyata makin menunjukkan bahwa merdeka belajar dan pembelajaran yang menyenangkan di dunia pendidikan kita masih jauh dari harapan.
Kesan tersebut setidaknya muncul dalam survey PJJ siswa dan guru yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang dilaksanakan pada 13-21 April 2020 diikuti oleh 1700 responden siswa dan 602 responden guru yang meliputi 20 provinsi dan 54 kabupaten/kota. Kebijakan belajar dari rumah karena situasi darurat pandemic covid 19 melalui proses pembelajaran jarak jauh (PJJ), menunjukkan potret yang terjadi dalam ruang-ruang kelas selama ini. Selain itu, kebijakan PJJ memperlihatkan ketidaksiapan dan kegagapan sekolah/madrasah, guru, siswa/santri, orang tua, termasuk pemerintah (daerah) dan pemerintah pusat dalam menyikapi kondisi darurat seperti ini. Setidaknya ada 68.265.784 juta siswa dan 3,2 juta guru yang merasakan ketidaksiapan sekolah dan pemerintah dalam menghadapi bencana non alam seperti pandemic covid 19 ini.
Menjadi kabar baik bagi dunia pendidikan nasional, sebab di tengah pandemi dengan segala keterbatasan akses dan kurangnya kemampuan, para guru memiliki antusiasme dalam belajar dan mengajar, bahkan banyak guru-guru di pelosok daerah mendatangi para siswa untuk mengajar, kerena peserta didiknya sama sekali tidak memiliki peralatan daring dan kuota internet. Semangat para guru ini menjadi harapan pastinya. rasa ingin tahu, terus belajar mengelola PJJ berbasis daring, dan tak apatis bahkan pesimis. Ini patut diapresiasi pemerintah, orang tua, siswa, dan publik umumnya. Dari survey PJJ Guru yang dilakukan KPAI, hanya 6% guru yang merasa terbebani dengan PJJ.
Temuan Permasalahan PJJ dan Merdeka Belajar
Pertama, Saat PJJ disamakan dengan belajar daring maka terjadi kegagalan proses pembelajaaran.
Hasil survey siswa menunjukkan bahwa selama PJJ, baik guru maupun murid sama-sama memiliki keterbatasan kuota internet dan peralatan yang tidak memadai untuk daring. Mayoritas siswa menggunakan telepon genggam/handphone sebanyak 95,4%, oleh karena itu banyak siswa yang mengaku matanya sakit dan kelelahan karena berjam-jam menatap layar ponsel.
PJJ melalui daring tidak maksimal ketika mayoritas guru tidak terbiasa menerapkan pembelajaran daring dalam proses pembelajarannya sebelum pandemic covid. Hasil survei guru menunjukkan bahwa guru yang sudah terbiasa menggunakan pembelajaran daring (berbasis digital) terus-menerus di kelas hanya (8%). Bahkan masih ada guru yang sama sekali belum pernah melaksanakan pembelajaran daring sebelum masa krisis ini (9,6%).
Temuan itu diperkuat dengan data survey dimana mayoritas guru dalam PJJ memahami penggunaan media teknologi digital dalam pembelajaran hanya sebatas “menggunakan WA, LINE, IG, dan FB” sebagai media pembelajaran (82,2%). Tentu ini tidak sepenuhnya keliru, tetapi tentunya metode ini adalah bentuk pemahaman yang sangat minimalis dalam konteks pengelolaan media pembelajaran berbasis digital/TIK.
Data tersebut diperkuat dengan survey PJJ siswa, dimana 79,9% responden menyatakan bahwa PJJ berlangsung tanpa Interaksi Guru-Siswa sama sekali kecuali memberikan tugas dan menagih tugas saja, tanpa ada interaksi belajar, seperti tanya jawab langsung atau aktivitas guru menjelaskan materi. Hanya 20,1% responden yang menyatakan ada terjadi interaksi antara siswa dengan guru selama PJJ, bentuk interaksi tersebut adalah sebanyak 87,2% responden menyatakan melalui chating, 20,2% menggunakan aplikasi zoom meeting, sedangkan 7,6% lagi menggunakan aplikasi video call WahsApp; dan 5,2% responden menggunakan telepon untuk langsung vbicara dengan gurunya.
Kedua, Saat Pandemi Covid 19, Merdeka Belajar Tidak Terjadi Dalam Proses Pembelajaran
Guru masih mengejar ketercapaian kurikulum. Ini sangat kontradiktif dengan semangat dan aturan dari Kemdikbud yang tertuang dalam Surat Edaran Mendikbud No 4. Tahun 2020. Di dalamnya tertulis sekolah tidak harus mengejar ketuntasan pembelajaran. Sebab ini akan menambah beban siswa dan guru. Di tengah bencana nasional Covid-19 ini fleksibilitas dan kelonggaran kurikulum adalah kunci agar anak dan guru tetap “merdeka dalam belajar”. Fenomena ini bisa terjadi setidaknya karena 2 hal: (1) Informasi SE Mendikbud tersebut tidak sampai atau tidak dipahami dengan baik oleh Dinas Pendidikan Daerah (Disdik, Pengawas) dan Sekolah (guru, kepala sekolah); atau (2) Lebih karena faktor psikologis guru yang tetap ingin “bersikap” ideal dalam menuntaskan kurikulum. Sebab akan ada rasa yang “mengganjal” di pikiran, jika pembelajaran tak tuntas. Ini mencerminkan juga guru tidak berpikir merdeka.
Persoalan yang banyak dikeluhkan siswa dan orang tua yang muncul di media selama ini adalah banyaknya pemberian tugas yang dilakukan guru. Tapi, survei ini menemukan bahwa sebanyak 60,1% guru menyatakan aktifitas yang dijalankan selama pelaksanaan PJJ adalah pembelajaran secara variatif mulai dari penjelasaan materi, diskusi, membaca dan pemberian tugas. Namun demikian, proses yang dilakukan para guru tersebut juga diakhiri dengan penugasan-penugasan yang tidak ringan. Namun, yang patut menjadi perhatian serius adalah masih adanya guru sebesar 29,6 %, yang mengisi aktifitas pembelajaran hanya dengan memberikan tugas. Tentu hal ini bertentangan prinsip pembelajaran yang bermakna (meaningfull learning) dan Merdeka Belajar.
Sebanyak 77,8% siswa mengalami kesulitan akibat tugas yang menumpuk karena seluruh guru memberikan tugas dengan waktu yang sempit, belum selesai tugas pertama, sudah datang tugas selanjutnya dari guru yang lain, demikian seterusnya, padahal tugas yang pertama saja belum selesai. Sedangkan 37,1% responen mengeluhkan waktu pengerjaan tugas yang sempit, sehingga membuat siswa kurang istirahat dan kelelahan, aktivitas belajar seperti ini pun tentu jauh dari menyenangkan. Walaupun merasa berat, namun siswa tetap mengerjakan penugasan guru karena khawatir nilainya jelek ketika tidak mengumpulkan. Padahal, merdeka belajar justru bukan untuk mengejar nilai.
Menurut 81,8% responden selama PJJ berjalan 4 minggu, ternyata para guru lebih menekankan pada sebatas pemberian tugas, bahkan jarang yang menjelaskan materi, diskusi ataupun Tanya jawab. Setelah empat minggu menjalankan PJJ, 76,7% responden siswa menyatakan tidak senang belajar dari rumah. Adapun alasan yang tidak senang umumnya adalah tugas-tugas yang berat selama PJJ.
Dalam melaksanakan PJJ, para guru hanya fokus pada pembelajaran dan penilaian koginitif saja, dan kurang abahkan tidak melakukan pembelajaran dan penilaian aspek afektif yang berbasis pada pendidikan karakter. Padahal, penugasan afektif seharusnya dapat dilakukan, misalnya tugas membantu orangtua di rumah selama belajar dari rumah dan menuliskan laporan singkat untuk menceritakan perbuatan baik apa yang dilakukannya hari itu di rumah. Ini akan mendekatkan hubungan anak dengan keluarga, sekaligus memberikan energy positif di rumah karena saling membantu. Penilaian afektif dapat dilakukan bisa dalam bentuk portofolio.
Selain itu, para guru harusnya dapat mengenali minat dan potensi anak didiknya , sehingga tugas yang diberikan dijalankan dengan total dan penuh semangat. Misalnya, kalau meminta anak SMA/SMK/MA membuat video, maka tugasnya bisa sesuai minat anak-anak, bagi anak-anak yang suka makeup bikin saja tutorial makeup; bagi anak-anak yang suka masak bikin tutorial masak, suka musik coba bikin lagu; bagi anak-anak yang suka debat ajak diskusi tentang keterlibatan swasta dalam hal wabah covid-19; bagi yang suka foto suruh bikin montase beberapa foto; bagi yang hobi olahraga identifikasi kenapa para pemain olahraga juga bisa kena Covid-19, dll.
Ketiga, Proses Pembelajaran Tidak Mempertimbangkan Keragaman dan Kondisi Perserta Didik
Dalam survey guru terungkap bahwa 58% guru memberikan tugas dan pengumpulan tugas menggunakan aplikasi daring yang sama bagi setiap siswa. Poin ini sangat penting untuk menjadi perhatian, khususnya dalam perspektif hak anak dan pembelajaran yang ramah terhadap siswa. Berarti guru belum memberikan pelayanan sesuai kebutuhan anak. Masih diskriminatif terhadap anak di tengah keterbatasan sarana dan akses gawai/laptop/internet. Padahal, 42,2% responden siswa mengaku tidak memiliki kuota internet, sehingga sulit jika harus melakukan tatap muka dengan menggunakan aplikasi zoom misalnya, atau sekedar video call. Selain kuota, ternyata 15,6% responden tidak memiliki peralatan PJJ yang memadai seperti laptop atau handphone yang spesifikasi memadai untuk belajar daring.
Artinya metode pembelajaran malah makin meminggirkan hak-hak anak yang tidak mampu secara sarana. Metode yang dipakai masih terjebak dengan pola “penyeragaman”, tanpa melihat kemampuan ekonomi siswa dan orang tua. Hanya (8,8 %) guru yang memberikan tugas berbeda kepada siswa sesuai dengan akses yang dimiliki siswa baik dari sisi peralatan maupun jaringan (kelas ekonomi). Keberagaman kondisi siswa juga akan berimbas pada Sistem Penilaian Kenaikan Kelas selama PJJ, jika guru dan sekolah memaksakan ujian daring akan menjadi masalah besar ketika para siswa tidak memiliki peralatan, atau memiliki peralatan tetapi tidak memadai, dan tidak mampu membeli kuota internet.
Rekomendasi KPAI
1. KPAI mendorong Kemdikbud Memaknai dan merefleksi kembali “Mereka Belajar” agar sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara yang setiap 2 Mei hari kelahirnya kita peringati sebagai hari Pendidikan Nasional. Merdeka berpikir dan bernalar belum menjadi budaya di pendidikan kita, sikap kritis kerap dianggap sok tahu atau malah kurang ajar.
Merdeka belajar bukan berarti sebebas-bebasnya, tanpa bimbingan, tanpa panduan, dan tanpa pelatihan mengingat puluhan tahun para guru dan siswa Indonesia belajar di sekolah dalam kondisi tidak merdeka. Kalau hanya sebagian kecil siswa atau sebagian kecil guru tidak berpikir dan bertindak merdeka dalam proses pembelajaran, maka yang salah adalah si individu guru atau siswanya. Namun, ketika mayoritas proses pembelajaran di ruang-ruang kelas dan juga di rumah saat pendemi covid ini juga tidak merdeka dan jauh dari menyenangkan, maka sikap dan perilaku yang tidak merdeka bukanlah kesalahan individu guru-siswa, namun ini merupakan kesalahan sistem. Jadi, negara harus bertanggungjawab membenahi sistem. Pembenahan tidak cukup hanya dengan membuat kebijakan “merdeka belajar” saja, akan tetapi harus disertai tindakan nyata yang massif hingga ke ruang-ruang kelas. Selama Dinas-dinas Pendidikan dan Kanwil Agama di daerah tidak memperlakukan guru sebagai manusia merdeka, maka guru akan memperlakukan siswanya juga bukan manusia merdeka. Guru juga bingung memaknai belajar merdeka, oleh karena itu tetap harus ada intervensi dalam membangun budaya merdeka di lingkungan pendidikan kita agar makna MERDEKA betul-betul dapat dirasakan dan dipahami semua pihak, dari atas sampai bawah, jika tidak ada intervensi dalam pembenahan maka kebijakan merdeka belajar hanya jargon tanpa makna.
2. KPAI mendorong KEMDIKBUD dan KEMENAG menetapkan kurikulum dalam situasi darurat, misalnya memilih materi-materi esensial dan utama saja yang diberikan selama masa PJJ. Materi yang memiliki tingkat kesulitan tinggi dan perlu bimbingan guru secara langsung sebaiknya ditiadakan. Materi yang diujikan dalam kenaikan kelas sebaiknya materi yang sudah dibahas sebelum kebijakan belajar dari rumah. Dengan demikian tidak membebani siswa maupun guru. Implementasinya mirip saat kejadian gempa Palu dan Lombok beberapa waktu lalu, yakni sekolah memakai materi ajar sebelum bencana sebagai bahan untuk ujian kenaikan kelas.
Kalau tidak ada panduan jelas dalam situasi darurat maka dengan alasan “merdeka” diartikan bisa bebas sebebasnya dalam menerapkan kurikulum dan penilaian hasil belajar. Bisa terjadi perbedaan makna dan implementasi di lapangan, seperti dinyatakan salah satu pejabat dari Dinas Pendidikan daerah, bahwa “Belajar dari rumah tidak masuk kriteria kenaikan kelas dan kelulusan siswa”. Oleh karena itu, kurikulum dalam situasi darurat diperlukan agar Dinas Pendidikan dan Kanwil Agama tidak menekan guru menyelesaikan ketuntasan kurikulum, agar anak-anak didik tidak menjadi korban kebijakan yang ambisius tapi mengabaikan hak-hak anak dan kepentingan terbaik bagi anak.
Jakarta, 2 Mei 2020
*) Penulis adalah Komisioner KPAI Bidang Pendidikan