BANDUNG,(Fokuspantura.com),– Ratusan warga asal Kabupaten Indramayu berunjuk rasa di depan kantor Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, Rabu (2/8). Aksi itu berkaitan dengan digelarnya sidang perdana gugatan Izin Lingkungan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 2 Indramayu berkapasitas 2 x 1000 MW.
Mereka yang berunjuk rasa adalah perwakilan petani, nelayan dan masyarakat terdampak proyek PLTU 2 Indramayu. Proyek ini menggusur lahan subur pertanian seluas 275,4 hektar. Izin lingkungannya digugat oleh masyarakat ke PTUN.
Tim Advokasi dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung,menilai alasan masyarakat melakukan gugatan adalah potensi ancaman penurunan kualitas udara yang akan meningkatkan resiko kesehatan bagi mereka dan anak-anaknya serta masyarakat lain yang tinggal di sekitar lokasi.
Aksi Masyarakat Petani dan Nelayan Kabupaten Indramayu,saatberlangsungnya sidang perdana Gugatan Ijin Lingkungan PLTU Indramayu 2, di Kota Bandung,Rabu (2/8).Mereka menilai, PLTU 2 akan berpotensi terhadap ancaman penurunan kualitas udara sekitar lokasi PLTU.
Selain itu, para penggugat merupakan tulang punggung keluarga yang kehilangan mata pencahariannya karena lahan garapan telah dijual oleh pemilik lahan untuk pembangunan pembangkit listerik tersebut.
Meskipun izin lingkungan PLTU 2 Indramayu sudah diterbitkan tahun 2015 lalu, pada faktanya masyarakat baru mengetahui adanya izin lingkungan pada tanggal 12 juni 2017. Itu pun setelah mereka mengirimkan surat ke Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Indramayu.
“Sebagai warga terdampak selama ini kami sama sekali tidak mendapatkan informasi maupun kesempatan partisipasi dalam terbitnya izin lingkungan tersebut.”, ujar Koordinator Aksi, Abdul Muin.
Menurut staf advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat, Wahyudin Iwang, pencemaran laut dan udara bertambah setelah beroperasinya PLTU 1 Indramayu sejak tahun 2010 lalu. Berdasarkan hasil laporan pengelolaan dan pemantauan (RKL-RPL) periode 2010-2016 PLTU 1 Indramayu eksisting tercatat setidaknya 5 logam berat telah melampaui baku mutu air laut seperti seng, tembaga, cadmium dan 1 senyawa kimia seperti fenol.
Hal ini menunjukan telah terjadi perubahan rona awal paska beroperasi PLTU 1 Indramayu. Sedangkan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) PLTU 2 Indramayu disusun pada tahun 2010 sebelum beroperasinya PLTU 1 Indramayu. Artinya Amdal tersebut tidak dapat lagi digunakan karena tidak bisa mewakili kondisi rona awal saat ini.
Selain itu,pada bagian menimbang dalam surat Izin Lingkungan terdapat peraturan perundangan yang sudah tidak berlaku tetapi masih digunakan, misalnya Undang Undang (UU) 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang telah dibatalkan pada Februari 2015 dan Peraturan Pemerintah (PP) 18/1999 tentang Pengelolaan
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang telah digantikan dengan PP 101/2014 tentang hal yang sama. “Ini menunjukkan bahwa izin dikeluarkan tidak cermat dan asal sehingga cacat hukum,” tambah Wahyudin Iwang.
Seperti diketahui,pada umumnya PLTU menggunakan bahan bakar batu bara, membuang energi dua kali lipat dari energi yang dihasilkan. Setiap 1000 megawatt yang dihasilkan dari pembangkit listrik bertenaga batubara akan mengemisikan 5,6 juta ton karbon dioksida (CO2) per tahun. Produksi CO2 yang dihasilkan PLTU Batubara ditentukan oleh beberapa variabel seperti jenis teknologi, jenis batubara dan lain lain. “Kebijakan pemerintah di sektor energi dengan membangun PLTU-PLTU baru bertentangan dengan komitmen pemerintah kita untuk menurunkan emisi gas rumah kaca”, tegasnya.
Tim Advokasi Hak Atas Keadilan Iklim, sekaligus Direktur LBH Bandung, Willy Hanafi mengatakan, banyak ditemukan kejanggalan dalam penerbitan Izin Lingkungan tersebut. Antara lain, Surat Keputusan Bupati Indramayu mengenai Izin Lingkungan PLTU Indramayu tertanggal 26 Mei 2015 diterbitkan tidak berdasarkan Surat Kelayakan Lingkungan Hidup, melainkan berdasarkan surat kesepakatan komisi penilai Amdal yang menyatakan bahwa Amdal masih harus diperbaiki atau disempurnakan. Sehingga jelas dokumen Amdal belum dinyatakan layak lingkungan hidup karena masih harus diperbaiki atau disempurnakan.
Kedua, izin diduga cacat prosedural karena tidak menyertakan masyarakat dalam proses permohonan dan penerbitannya sebagaimana diatur di dalam PP 27/2012 dan Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup (LH) 17/2012. Ketiga, mengandung cacat hukum, kekeliruan dan penyalahgunaan dokumen atau informasi, sehingga cacat substantif. Amdal disusun pada tahun 2010 sementara izin lingkungan diterbitkan pada tahun 2015, hal ini menunjukan bahwa dokumen analisis lingkungan tidak valid dan tidak representatif.
Sidang pertama dengan agenda pembacaan gugatan ini dibacakan secara langsung di depan masyarakat terdampak. Seratus warga sengaja datang dari Indramayu hanya ingin mendengarkan dan menyaksikan langsung proses persidangan tersebut. Mereka datang untuk menunjukkan penolakan kuat dan ketidaksetujuan mereka atas rencana pemerintah membangun PLTU batubara baru di daerahnya.
Sementara itu, manager hukum,komunikasi dan pertanahan PT PLN JBT I kateni serta Asmen Project PLTU Indramayu,Buchari belum bersedia memberikan keterangan.Saat dihubungi via ponsel, belum menjawab. (Ihsan/robi cahyadi)