
JUDUL di atas adalah pilihan moderat atas hasil survey “SMRC” (Saeful Mujani Research And Consulting) terhadap 10 program unggulan Bupati Indramayu. Judul yang pas dan “meaning full” (seharusnya) “Potret Gagal 10 Program Unggulan Bupati Dalam Survey SMRC” merujuk dari keseluruhan hasil survey “SMRC” di atas yang ditulis detail “Fokus Pantura” edisi 31 Agustus 2022 disertai gambar gambar grafik dengan methode penyajian dalam bentuk perbandingan yang “kontras” dan “makjleb”.
Sepuluh program unggulan bupati yang dilaunching untuk pertama kalinya pada tanggal 9 Maret 2021 di Pendopo Indramayu, yaitu : 1 I-ceta ( Indramayu cepat tanggap). 2 Le – dig (lebu digital). 3 De – kat (desa kabeh terang). 4 Alu – r ( alun alun rakyat). 5 Dok-maru (dokter masuk rumah). 6 Pe – ri (perempuan berdikari). 7 Krow – cil (kredit usaha warung kecil). 8 Bersuling (berjamaah shubuh keliling). 9 La – da (lacak asset.daerah) dan 10 Ja – ket (kejar paket ABC).
Hasil survey “SMRC” (Agustus 2022), satu tahun lebih dari launching pertama kali menemukan fakta bahwa rata rata 75 persen publik Indramayu “tidak tahu” /”tidak mendengar” 10 program unggulan tersebut. Ini menandai betapa buruknya komunikasi birokrasi dalam sosialisasi 10 program unggulan Bupati di ruang publik. Lalu untuk apa SDM birokasi, fasilitas instrument birokrasi modern dan aplikasi media sosial lainnya jika sekedar “pekerjaan sosialisasi” program saja “gagal” menjangkau minimal 50 persen area publik.
Temuan lain dari rata rata 25 persen responden yang menjawab “tahu” 10 program unggulan di atas secara variatif yang menjawab “baik” 37 persen sampai dengan 77 persen berimbang secara rata rata responden yang menjawab “belum baik”. Tapi dibaca dari seluruh populasi responden, sangat jelas hasil survey “SMRC” Ini potret paradoks dari berlimpahnya penghargaan diterima bupati. Artinya, penghargaan penghargaan tersebut pada level terbatas miskin legitimasi pengakuan publik.
Dalam perspektif lebih “mendalam” penulis tentu apresiatif pada salah satu pilihan program unggulan bupati , yaitu program “alun alun rakyat”. Kata menggeser ekslusivitas “alun alun” menjadi “ruang publik”. Ini yang dimaksud filosofi “tahta untuk rakyat” dalam buku yang ditulis Hamengku Buwono IX. Alun alun bukan sekedar tempat “anjangsana” melainkan area perjumpaan rakyat (alun alun) dengan umara (pendopo) dan ulama (masjid) dalam relasi humanitik dan informalistik.
Di sisi lain program “berjamaah shubuh keliling” (bersuling) sangat “aneh” bagi penulis. Negara terlalu dalam masuk pada urusan “ibadah mahdlah” umat. Pencabutan tujuh kata “dengan kewajjban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam siila pertama Pancasila (18 Agustus 1945) dimaksudkan secara filosofis untuk mengindarkan negara “Pancasila” mengatur urusan “ibadah” salah satu agama kecuali regulasi “akhlaq sosial” di ruang publik .
Terlepas dari problem ide daaar terkait pilihan 10 program unggulan di atas point pentingnya adalah bahwa data survey “SMRC” di atas dalam konteks kepemimpinan Nina harus diletakkan pada dinamika demokrasi bahwa kritik opini publik lewat data survey harus dimaknai sebagai “tukar tambah” gagasan, “uji kualitas” kepemimpinan Nina dan alat ukur kinerja birokrasi yang dipimpinnnya.
Branding puja puji secara berlimpah ibarat “gula” bisa merusak “metabolisme” politik yang menggerogoti dari dalam tanpa “jamu,” kritik secara berimbang. Maka, nikmatilah kritik dengan riang genbira, kata Carkaya dalam “status” facebooknya.
Wassalam.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Sosial Keagamaan.