INDRAMAYU,(Fokuspantura.com),- Ditengah maraknya penanganan isu Corona (Covid-19), pemerintah saat ini tengah mengusulkan Rancangan UU (RUU) Cipta Lapangan Kerja atau Omnibus Law kepada DPR RI untuk dibahas dan disahkan bersama. Kontroversi atas pembahasan RUU tersebut kian mendapat perhatian dari masyarakat, bentuk kebijakan yang mendapat penolakan dari serikat pekerja juga berpengaruh terhadap kondisi bangsa saat ini dimana pemerintah fokus dalam penanganan Covid -19.
Seperti diketahui, sejak akhir Desember 2019 para pekerja geram atas adanya Kebijakan usulan dari Pemerintah tentang Rancangan Undang Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU CILAKA) yang saat ini berubah nama menjadi Rancangan Undang – Undang Cipta Kerja (RUU CIKER).
Hal tersebut sebagai bentuk pengguntingan kebijakan antara Pengusaha dengan pemerintah yang disebut Omnibuslaw (peringkasan birokrasi), namun demikian menjadi momok bagi para pekerja mengingat otoritas perusahaan akan menjadi prioritas dan mengesampingkan wewenang dari Pemerintah, sehingga muncul beberapa tuntutan bagi buruh terkait penolakan RUU CIKER atau Omnibuslaw diantaranya, hilangnya upah minimim
, hlangnya pesangon, Outsoursing seumur hidup waktu kerja yang eksploitatif tenaga kerja asing unskill bebas masuk, hilangnya jaminan sosial, PHK di permudah dan hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha.
Bahkan Isu yang berkembang saat ini, menjadi penyikapan bagi pekerja di wilayah Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, terhadap upaya penolakan RUU CIKER dan Omnibuslaw, yang akan dilaksanakan pada tanggal 23 maret 2020 mendatang.
Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah mereka yang menolak RUU Ciker dan Ombusmini tetap dilakukan dengan pengerahan massa, sementara kondisi bangsa saat ini sedang marak pencegahan Covid-19 melalui surat edaran pemerintah untuk tidak melaksanakan kegiatan yang melibatkan orang banyak.
Dekan Fakultas Hukum, Unwir Indramayu, Syamsul Bachri Siregar, mengatakan, penarikan rancangan UU Omnibus law Cipta Kerja karena wabah virus covid 19 oleh presiden/pemerintah adalah kurang tepat, karena kewenangan dan kerja – kerja dalam pembahasan RUU tersebut, kini telah beralih ke DPR.
“Maka bagi yang menolak itu disarankan saja kepada DPR untuk menunda pembahasannya,” katanya saat dimintai tanggapan terkait hal itu, Sabtu(21/3/2020).
Terkait penetapan keadaan darurat, pememerintah telah menetapkan status bencana nasional sesuai dengan UU. Jika dalam kondisi seperti saat ini dengan upaya pemerintah melakukan pencegahan Covid-19, tetapi akan ada pergerakan massa penolakan terhadap RUU itu, maka pemerintah harus melakukan pencegahan.
“Kerja ekstra pemerintah, memang harus terus ditingkatkan, terlebih dengan upaya paksa untuk menindak dan membubarkan kegiatan yg banyak melibatkan orang,” imbuhnya.
Syamsul memaklumi, jika adanya penolakan terhadap sebuah produk UU baru yang akan diberlakukan pemerintah, namun bentuk dan langkah penolakan itu harus disertai dengan argumentasi yang kuat.
“Memang wajar kalau sesuatu yang baru memunculkan penolakan, tetapi menjadi kurang wajar jika penolakan terkait suatu rancangan UU tidak disertai dengan data frasa-frasa dalam pasal nya yang ditolak tentunya disertai dengan argumen yang kuat,” terangnya.
Karena tanpa itu, kata Ucok sapaan akrab Syamsul, akan terjebak dalam opini.Karna secara teknis sudah masuk wilayah itu.
“Dan saya sering bertanya kepada yang kontra “apakah sudah membaca rancangan nya ?, jawabnya “belum dan gak perlu, karena terlihat pemerintah terburu buru,” katanya.
Terkait