Oleh : Muhammad Andiya Yudiyanto *)
ABSTRAK
Hukum Islam merupakan hukum yang hidup dan berjalan di tengah masyarakat. Sekaligus tidak dipisahkan juga dari masyarakat Indonesia terkait mayoritas dari masyarakat Indonesia beragama Islam. Dengan adanya doktrin ekonomi Syari’ah yang muncul dengan kuat pada abad 20 secara global memiliki maksud untuk membangun sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan Wahyu dan tradisi yang sesuai dengan ruang lingkupnya. Pada sekitar awal tahun 1940 konsep hukum ekonomi Islam sudah mulai muncul di berbagai negara. Dengan adanya praktik hukum ekonomi Islam seiring dengan pertumbuhannya yang sangat tinggi, didukung oleh banyaknya pendirian lembaga keuangan Syari’ah baik dalam bentuk bait atau tamwil, BPRS atau perbankan Syari’ah. Maka perbankan Syari’ah menjadi wadah terpercaya bagi beberapa masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil sesuai pada prinsip Syari’ah. Sistem perekonomian Syari’ah tidak sama sekali bertentangan melanggar ketentuan yang sudah diberlakukan negara ini terutama yaitu Pancasila yang dalam isinya terkandung sila yang pertama yaitu “ketuhanan Yang Maha esa” terlebih juga tidak bertentangan apalagi melawan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia pada bagian pembukaan yang di dalamnya termaktub kalimat “Dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” sehingga dengan lahirnya undang-undang hukum ekonomi Islam/Syari’ah maka dapat menjadi payung hukum dalam permasalahan yang muncul terkait ekonomi Syari’ah.
Kata kunci : Hukum Ekonomi Islam/Syari’ah, Hukum Nasional, Sistem Ekonomi Syari’ah.
ABSTRACT
Islamic law is a law that lives and operates in society. At the same time, it is not separated from Indonesian society because the majority of Indonesian society is Muslim. With the sharia economic doctrine that emerged strongly in the 20th century globally, the intention was to build an economic system that was in accordance with Revelation and traditions that were in accordance with its scope. Around the beginning of 1940, the concept of Islamic economic law began to emerge in various countries. With the practice of Islamic economic law along with its very high growth, it is supported by the many establishments of sharia financial institutions in the form of bait or tamwil, BPRS or sharia banking. So sharia banking has become a trusted forum for several people who want to invest with a fair profit sharing system in accordance with sharia principles. The Sharia economic system does not in any way conflict with the provisions that have been implemented by this country, especially Pancasila, which contains the first principle, namely “belief in One Almighty God”, moreover it does not conflict, let alone against the constitution of the Republic of Indonesia in the preamble which contains contained in the sentence “By realizing social justice for all Indonesian people” so that with the birth of the Islamic/Shariah economic law law it can become a legal umbrella for problems that arise related to sharia economics.
Keywords: Islamic/sharia economic law, National Law, Sharia Economic System
BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam undang-undang dasar negara kesatuan Republik Indonesia. Menyatakan diri bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Sebelum undang-undang dasar 1945 diamandemen pencantuman negara Indonesia sebagai negara hukum dinyatakan dalam penjelasan “Indonesia, ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstraat)”. Negara Indonesia berdasar atas hukum yang diberlakukan tidak berdasar atas kekuasaan saja. Dalam undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945 yang telah diamandemenkan pernyataan Indonesia sebagai negara hukum termaktub dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 3 yang menyatakan bahwa: “Negara Indonesia adalah negara hukum” yang menjadi permasalahannya yaitu adakah yang dimaksud dengan kata “hukum” di dalam suatu kalimat Negara “Indonesia adalah negara hukum” itu termasuk di dalamnya hukum tidak tertulis ? Ilmu hukum memang mengamanatkan kepada kita tentang keberadaan posisi hukum yang tidak tertulis di samping hukum tertulis namun pada kenyataannya di dalam hukum modern dewasa ini lebih terlihat cenderung atau bahkan lebih berpihak pada hukum tertulis. Daripada hanya sekedar pengakuan apalagi keberpihakan pada praktek hukum tidak tertulis. Oleh karena itu penerapan hukum Islam secara legal formal melalui legalisasi nasional saat ini terlihat telah menjadi kebutuhan yang sangat mendesak dan harus segera ada penanganan khusus. Sistem ekonomi Syari’ah/Islam merupakan sebagai salah satu solusi terbaik dalam menata kembali perekonomian Indonesia yang tidak beraturan seiring arah perkembangan hukum nasional Indonesia terlihat lebih mengacu pada hukum tertulis atau lebih tepatnya lebih merujuk pada peraturan perundang-undangan.
Dalam negara Indonesia hukum Islam adalah hukum yang hidup berjalan secara dinamis di tengah-tengah masyarakat. Sujono Soekanto memberikan pernyataan bahwa hukum merupakan konkrettisasi dari sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat dan suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya kesesuaian antara hukum dengan sistem nilai tersebut. Dengan adanya pertanyaan tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum Islam merupakan hukum yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Indonesia namun hal ini berbeda dengan hukum positif hukum positif lahir karena dilahirkan oleh kekuatan politik yang berkuasa.
Masuknya era budaya global dengan seiring kemajuan teknologi informatika di satu sisi dan kebangkitan nasionalisme Yang bergandengan dengan sisi spiritual. Budaya global juga ditandai dengan adanya era “ekonomi baru” dan posisi hukum semakin diperlukan untuk mengaturnya. Ilmu ekonomi Syari’ah/Islam adalah ilmu tentang manusia yang meyakini nilai-nilai hidup Islam. Ilmu ekonomi Syari’ah tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga mempelajari manusia dengan fitrah religiusnya. Ilmu ekonomi Syari’ah/Islam dapat dikendalikan oleh suatu nilai-nilai dasar Islam dalam operasionalnya didasarkan dalam perintah Alquran dan Sunnah.
Dalam perspektif kesejarahan jauh sebelum Negara kesatuan Republik Indonesia diciptakan dan dibentuk bahkan jauh sebelum para penjajah menduduki wilayah nusantara negeri ini telah dihuni oleh penduduk yang jelas-jelas beragama khususnya Islam yang kemudian keluar sebagai mayoritas tunggal sampai saat ini sekurang-kurangnya di daerah-daerah tertentu hukum ekonomi Islam/Syari’ah memiliki konteks yang sangat luas yang pernah diberlakukan namun tidak sepenuhnya sampai saat ini. Sistem bagi hasil dalam bentuk beberapa porsi bagian dalam bidang pertanian peternakan dan sebagainya yang dikenal di sejumlah daerah terutama di pulau Jawa merupakan bukti konkret bagi pemberlakuan suatu hukum ekonomi Islam di nusantara dari semenjak zaman dahulu. Sedemikian sama dengan simbol-simbol transaksi perdagangan dalam sejumlah pasar tradisional yang terkesan kental dengan mazhab fiqih yang selama ini dianut oleh beberapa masyarakat.
Penguatan doktrin ekonomi Islam/Syari’ah muncul dengan kuat pada abad 20 secara global. Memiliki maksud untuk membangun sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan himbauan Alquran dan Sunnah serta tradisi yang melingkupinya. Pada awal tahun 1940 konsep hukum ekonomi Syari’ah/Islam mulai muncul dari berbagai negara. Ini banget saat ini Pemerintah Pakistan Malaysia dan Inggris serta beberapa negara-negara lain mulai menerapkan program sentralisasi sistem retribusi Islam yaitu zakat. Lalu lebih dari 60 negara melalui bank Islam dengan menawarkan sistem free interest yang disebut sebagai alternatif dari model perbankan konvensional dengan sistem bunganya. Walaupun studi tentang ekonomi Syari’ah sudah cukup lama dikenal oleh beberapa kalangan masyarakat, seiring dengan umur agama Islam itu sendiri. Sebagian besar landasan tentang ekonomi Syari’ah/Islam dipertemukan dalam literatur Islam seperti tafsir Alquran, Syarah Al hadits, dan kitab-kitab fiqih yang ditulis oleh para ahli cendekiawan muslim terkenal. Agama Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk masyarakat Indonesia tentu sangat berpengaruh juga terhadap pola hidup masyarakat bangsa Indonesianya itu sendiri perilaku pemeluknya tidak terlepas dari syariat dan agama Islam termasuk dalam praktek ekonomi oleh karena itu pelaksanaan syariat agama yang berupa hukum-hukum merupakan suatu tolak ukur ketaatan seseorang dalam menjalankan agamanya.
Antusias diri dari masyarakat terhadap pertumbuhan praktek ekonomi Syari’ah/Islam sangatlah tinggi apalagi dengan menjamurnya pendirian lembaga keuangan Syari’ah baik dalam bentuk bait at tamwil, BPRS atau perbankan Syari’ah. Perbankan Syari’ah menjadi wadah terpercaya bagi masyarakat yang ingin melakukan investasi dengan sistem bagi hasil secara adil yang sesuai dengan prinsip Syari’ah atas memenuhi rasa keadilan bagi semua umat dan semua pihak dan memberikan maslahat bagi masyarakat luas adalah merupakan prioritas utama dan dijadikan prinsip bagi bank Syari’ah. maka dari itu mayoritas bank Syari’ah menerapkan ketentuan dengan menjauhkan diri dari unsur riba serta menjalankan prinsip bagi hasil dan sistem jual beli
Berdasarkan surah Al-baqarah (2):275 dan Al-Nisa (4):29 yang menghimbau bahwa intinya Allah SWT telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba serta suruhan untuk menempuh jalur perniagaan dengan suka sama suka maka setiap transaksi kelembagaan ekonomi Syari’ah/ Islam wajib dilandasi atau mendasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau yang transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang atau jasa.
Keterlibatan unsur Islam dalam cita hukum ekonomi Indonesia bukan bermaksud untuk mengalihkan ekonomi nasional ke arah ideologi ekonomi agama tertentu namun tetapi dikarenakan ekonomi Syari’ah sudah lama hidup berkembang tidak hanya di negara Indonesia akan tetapi juga diterapkan di berbagai negara di dunia. Sistem ekonomi Syari’ah adalah salah satu dari sistem perekonomian lainnya seperti kapitalisme dan sosialisme menurut jimly Asshiddiq, dalam perspektif konstitusi ekonomi ekonomi Syari’ah keberadaannya memiliki landasan yang kuat baik secara formal syar’i maupun formal konstitusi. Itulah yang menjadi alasan kuat atas adanya penerapan ekonomi Syari’ah/Islam di negara Indonesia karena secara formal syar’i keberadaan ekonomi Syari’ah memiliki landasan dalil yang sangat kuat dan kokoh. Sehingga dalam konteks kenegaraan ekonomi Syari’ah memiliki landasan konstitusional.
Rumusan Masalah
Transformasi hukum ekonomi Syari’ah ke suatu sistem perundang-undangan nasional dalam bidang ekonomi yang sudah diberlakukan di negara Indonesia sangatlah penting untuk membangun sistem perekonomian yang kokoh dan kuat. Namun dalam membangun sistem ekonomi Syari’ah diperlukan kemauan masyarakat untuk melakukan ketentuan-ketentuan fiqih dalam bidang ekonomi namun untuk membangun hukum ekonomi Syari’ah/Islam dibutuhkan kemauan politik untuk mengadopsi hukum fiqih atas penyesuaian terhadap situasi dan kondisi masyarakat di negara Indonesia sehingga terdapat masalah yang muncul dalam penelitian ini dan dijadikan pertanyaan rumusan masalah dalam karya tulis ini yaitu :
a. Bagaimana suatu hubungan antara hukum ekonomi Syari’ah/Islam dengan perspektif falsafah negara Indonesia
b. Bagaimana kedudukan hukum ekonomi Syari’ah/Islam dalam tatanan hukum nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Islam menjadi sumber hukum nasional bersama hukum barat dan hukum adat, bukan berarti ia harus menjadi hukum formal dengan bentuk sendiri yang eksklusif, kecuali sifatnya untuk melayani bukan untuk memberlakukan secara imperatif terhadap yang sudah berlaku sebagai kesadaran dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks ini sumber hukum harus diartikan sebagai sumber hukum material dalam arti menjadi bahan komposisi untuk sumber hukum formal. Terlebih lagi adanya hukum Islam sudah lama mendapatkan tempat di Indonesia dalam tatanan hukum keberlakuannya sudah begitu lama baik secara normatif sosiologis maupun yuridis formal.
Dalam pembentukan hukum nasional yang bersumber pada hukum Syari’ah tidak bisa dilepaskan oleh konteks politik hukum nasional akan tetapi dalam rangka pengalaman ajaran Islam secara kaffah legislasi hukum Islam diletakkan posisinya untuk kebutuhan umat Islam itu Oleh karena itu hukum benar-benar dijalankan secara konsisten karena dianggap sebagai bentuk pengalaman ajaran Islam yang kaffah/sempurna, legislasi hukum Islam diletakkan dalam rangka kebutuhan umat Islam itu sendiri Oleh karena itu hukum benar-benar dijalankan secara konsisten karena dianggap sebagai bentuk pengalaman ajaran Islam yang kaffah sekalipun dalam bentuk produk peraturan perundang-undangan. Dengan adanya teori penerimaan otoritas hukum yang yang menegaskan pada prinsipnya bahwa hukum Islam menegaskan setiap orang dan siapapun yang telah menyatakan dirinya sebagai Muslim hanya dengan mengucap dua kalimat syahadat ia terikat untuk tunduk kepada hukum dan ajaran Islam karena bagaimanapun juga agar dalam pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembaruan dapat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan hukum yang diberlakukan dalam masyarakat.
Kehadiran hukum ekonomi Islam/Syari’ah dalam tatanan peraturan hukum di Indonesia pada saat ini sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar tuntutan sejarah dan kependudukan karena mayoritas beragama Islam akan tetapi lebih jauh dari hal tersebut itu semua karena disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar bertapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syari’ah dalam mengawal kesejahteraan masyarakat yang dicita-citakan oleh bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia kedudukan hukum ekonomi Islam/Syari’ah seperti yang sudah penulis paparkan akan semakin kuat jika dihubungkan dengan falsafah dan konstitusi negara yaitu Pancasila dan undang-undang dasar negara Republik Indonesia tahun 1945. Singkatnya, sistem ekonomi Syari’ah/Islam sama sekali tidak bertentangan apalagi melanggar Pancasila terutama sila pertama yaitu “ketuhanan Yang Maha esa”yang sama sekali tidak bertentangan apalagi melawan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia baik di bagian pembukaan yang di dalamnya antara lain termasuk kalimat “dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” maupun dengan bagian isinya
Diskursus dalam ekonomi Syari’ah
Untuk memudahkan dalam pemahaman pengertian hukum ekonomi Syari’ah/Islam maka diperlukan pemahaman terhadap ekonomi Syari’ah secara umum dan seterusnya yang mengerucut pada istilah hukum ekonomi Syari’ah/Islam itu sendiri.
- Ekonomi Syari’ah
Istilah ekonomi Syari’ah atau perekonomian Syari’ah hanya dikenal di Indonesia. Berbeda dengan negara lain istilah tersebut dikenal dengan nama ekonomi Islam dan sebagai ilmu disebut ilmu ekonomi Islam. Ekonomi atau ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi atau ilmu ekonomi konvensional yang berkembang di setiap negara pada masa ini. Di dalam perbedaan tersebut dikarenakan ekonomi Islam terikat pada nilai-nilai agama Islam sedangkan ekonomi konvensional memisahkan diri dari agama sejak negara-negara Barat berpegang pada sekularisme dalam menjalankan politik sekularisasi. Sedemikian sama pada dasarnya tidak ada ekonomi yang terpisah dari nilai tingkah laku manusia. Namun pada ekonomi konvensional nilai yang digunakan lebih menitikberatkan nilai-nilai duniawi.
Kajian tentang ilmu ekonomi secara umum sebenarnya menyangkut sikap tingkah laku manusia terhadap masalah produksi distribusi konsumsi barang-barang komoditi dan pelayanan. Kajian ilmu ekonomi Islam dalam segi ini, tidak berbeda dari ekonomi sekuler akan tetapi dari segi lain ia terikat dengan nilai-nilai Islam yang kita kenal dalam istilah sehari-hari terikat dengan ketentuan halal dan haram.
Implementasi sistem Syari’ah bisa dibedakan dalam dua dimensi makro dan mikro. Dimensi makro lebih menekankan pengaturan ekonomi masyarakat dari sisi etis dan filosofis seperti bagaimana distribusi kekayaan yang seharusnya oleh negara pelanggaran riba dan kegiatan ekonomi yang tidak memberikan manfaat sedangkan pada dimensi mikro lebih menekankan pada aspek profesionalisme dan kompetensi dari pelaksana ekonomi Syari’ah. Beberapa nilai-nilai Islam yang dapat dilihat dari konsep makro yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat antara lain yaitu :
- Kaidah zakat: mengkondisikan perilaku masyarakat yang lebih menyukai berinvestasi dibanding dengan hanya menyimpan hartanya aplikasi dari konsep ini terlihat diantaranya pada penetapan besaran pada zakat investasi dikenakan hanya pada hasil investasinya sedangkan pada Zakat harta simpanan dikenakan atas pokoknya
- Kaidah pelarangan riba: kaidah ini menganjurkan pembiayaan bersifat bagi hasil dan melarang riba seterusnya sebagai konsekuensi utamanya diarahkan pada keberanian berusaha dengan menghadapi resiko
- Kaidah pelarangan judi maisir : tercermin dari larangan investasi yang tidak memiliki kaitan dengan sektor riil konsekuensi dari konsep ini juga mengarah pada pengajaran pola hidup produktif dan tidak konsumtif
- Kaidah pelarangan gharar: Mengutamakan transparansi dalam transaksi dan kegiatan operasi lainnya dan menghindari ketidakjelasan
Namun nilai-nilai Islam dalam dimensi mikro menghendaki semua dana yang didapat dalam sistem ekonomi Islam dikelola dengan integritas tinggi dan sangat hati-hati demi menjalankan maksud tersebut beberapa sifat yang telah diteladankan oleh Rasulullah SAW yaitu :
- Shiddiq: memastikan bahwa pengelolaan usaha dilakukan dengan moralitas yang menjunjung tinggi nilai kejujuran dan tidak dengan cara yang meragukan terlebih lagi yang bersifat dilarang.
- Tabligh: di dalam istilah praktis dimaksudkan secara sustainable melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat mengenai prinsip-prinsip Islam yang perlu dijadikan pedoman dalam bermuamalah termasuk segala manfaat dan resiko yang menyertainya serta cara mengatasi bagi pengguna. Dalam penjelasan ini pula sebaiknya tidak mengedepankan pemenuhan prinsip Syari’ah semata namun juga harus dipadukan dengan berbagai situasi dan kondisi sosial masyarakat di masa kini yang kita rasakan.
- Amanah: menjaga dengan ketat prinsip kehati-hatian dan kejujuran dalam mengelola dana diperoleh dari shahibulmaal selaku pemilik dana sehingga timbul saling percaya antara pemilik dana dan pengelola dana
- Fathanah: memastikan bahwa pengelola usaha berbasis Syari’ah dilakukan secara profesional dan kompetitif sehingga menghasilkan keuntungan maksimum termasuk dalam pengelolaan dengan penuh kesantunan dan penuh rasa tanggung jawab.
Berdasarkan penjelasan pasal 49 huruf i undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang peradilan agama yang dimaksud dengan ekonomi Syari’ah adalah suatu perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip Syari’ah meliputi :
- Bank Syari’ah;
- asuransi Syari’ah;
- reasuransi Syari’ah;
- reksa dana Syari’ah;
- obligasi Syari’ah dan surat berharga berjangka menengah Syari’ah;
- sekuritas Syari’ah,
- pembiayaan Syari’ah;
- pegadaian Syari’ah;
- dana pensiun lembaga keuangan Syari’ah;
- bisnis – Syari’ah;
- lembaga keuangan mikro Syari’ah.
Hukum Ekonomi Syari’ah/Islam
Kata “hukum” yang dikenal dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab. Yang berarti “putusan” atau “ketetapan” . Dalam ensiklopedia hukum Islam hukum berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya. Sebagaimana telah disebutkan bahwa kajian ilmu ekonomi Islam terikat dengan nilai-nilai Islam atau dalam istilah sehari-hari terikat dengan ketentuan halal Haram sementara persoalan halal Haram merupakan salah satu lingkup kajian hukum maka hal tersebut menunjukkan keterkaitan yang erat antara hukum ekonomi dan Syari’ah pemakaian kata Syari’ah sebagai fiqih tampak secara khusus pada pencantuman Syari’ah Islam sebagai sumber legislasi di beberapa negara muslim perbankan Syari’ah, asuransi Syari’ah ekonomi Syari’ah.
Secara sudut pandang ajaran Islam istilah Syari’ah sama dengan syariat Yang pengertiannya berkembang mengarah pada fiqih dan bukan sekedar ayat-ayat atau hadis-hadis hukum dengan demikian yang dimaksud dengan ekonomi Syari’ah adalah dalil-dalil pokok mengenai ekonomi yang ada dalam Alquran dan hadis hal ini memberikan tuntutan kepada masyarakat yang beragama Islam di negara Indonesia untuk membuat dan menerapkan sistem ekonomi dan hukum ekonomi berdasarkan dalil-dalil pokok yang ada di dalam Alquran dan hadis dengan demikian dua istilah tersebut apabila disebut dengan istilah singkat ialah sebagai sistem ekonomi Syari’ah atau hukum ekonomi Syari’ah.
Sistem ekonomi Syari’ah pada suatu sisi dan hukum ekonomi Syari’ah pada sisi yang lain menjadi permasalahan yang harus dibangun berdasarkan amanah undang-undang di Indonesia untuk membangun sistem ekonomi Syari’ah diperlukan kemauan masyarakat untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan fikih di bidang ekonomi sedangkan untuk membangun hukum ekonomi Syari’ah diperlukan kemauan politik untuk mengadopsi hukum fiqih dengan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi masyarakat indonesia. adopsi yang demikian harus merupakan ijtihad para fuqaha ulama dan pemerintah sehingga hukum bisa bersifat memaksa sebagai hukum.
Dalam konteks masyarakat hukum ekonomi Syari’ah berarti hukum ekonomi Islam yang digali dari sistem ekonomi Islam yang ada dalam masyarakat yang merupakan pelaksanaan fiqih di bidang ekonomi oleh masyarakat. Pelaksanaan sistem ekonomi oleh masyarakat dibutuhkan hukum agar berfungsi untuk mengatur guna menciptakan tertib hukum dan menyelesaikan masalah sengketa yang pasti timbul pada interaksi ekonomi. Dengan kata lain sistem ekonomi Syari’ah memerlukan dukungan hukum ekonomi Syari’ah untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang mungkin muncul dalam masyarakat.
Produk hukum ekonomi Syari’ah secara konkret di Indonesia khususnya dapat dilihat dari pengakuan atas fatwa dewan Syari’ah nasional sebagai hukum materiil ekonomi Syari’ah demikian juga dalam bentuk undang-undang seperti contohnya undang-undang nomor 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat, undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan Syari’ah dan undang undang lainnya.diharapkan dapat mengisi kekosongan perundang-undangan dalam bidang ekonomi Syari’ah untuk bidang asuransi Reksadana obligasi dan pasar modal Syari’ah serta lembaga keuangan Syari’ah lainnya tentu juga memerlukan peraturan perundang-undangan tersendiri untuk pengembangannya selain peraturan perundang-undangan lain yang sudah ada sebelumnya. Bahan baku undang-undang tersebut antara lain ialah kajian fiqih dari para fuqaha.
Sehubungan dengan kewenangan baru peradilan agama Mahkamah agung RI menetapkan beberapa kebijakan antara lain pertama memperbaiki sarana dan prasarana lembaga peradilan agama baik hal-hal yang menyangkut fisik gedung maupun hal-hal yang menyangkut peralatan kedua meningkatkan kemampuan teknis sumber daya manusia peradilan agama yang mengadakan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi untuk mendidik para aparat pengadilan agama terutama para hakim dalam bidang ekonomi Syari’ah ketiga membentuk hukum formil dan materiil agar menjadi pedoman bagi aparat peradilan agama dalam memeriksa mengadili dan memutuskan perkara ekonomi Syari’ah keempat memenuhi sistem dan prosedur agar perkara yang menyangkut ekonomi Syari’ah dapat dilaksanakan secara sederhana mudah dan biaya ringan.
Kehadiran hukum ekonomi Syari’ah dalam tata hukum Indonesia dewasa ini sesungguhnya tidak lagi hanya sekedar karena tuntutan sejarah dan kependudukan (karena mayoritas beragama Islam) seperti anggapan sebagian orang/pihak; akan tetapi, lebih jauh dari itu, juga disebabkan kebutuhan masyarakat luas setelah diketahui dan dirasakan benar betapa adil dan meratanya sistem ekonomi Syari’ah dalam mengawal kesejahteraan rakyat yang dicita-citakan oleh bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini seiring dengan perkembangan masyarakat yang semakin kritis tentang mekanisme investasi dengan sistem berbagi laba dan rugi itu diterapkan dan bedampak lebih baik. Kegiatan para pelaku ekonomi sebagai subjek hukum selalu menunjukkan kecenderungan semakin mapan dengan frekuensi yang semakin cepat dan jenis hubungan hukum yang semakin beragam. Pada dasarnya hukum ekonomi selalu berkembang berdasarkan adanya;
- peluang bisnis/usaha baru;
- komoditi baru yang ditawarkan oleh iptek/teknologi;
- permintaan komoditi baru;
- kecenderungan perubahan pasar;
- kebutuhan-kebutuhan baru di dalam pasar;
- perubahan politik ekonomi;
- berbagai faktor pendorong lain, misalnya pergeseran politik dan pangsa pasar.
Guna memenuhi dan mengantisipasi kemungkinan peluang yang ada, maka ‟hukum‟ seharusnya mampu memberikan solusi yang sesuai dengan perkembangan dunia bisnis. Dalam kontek ini, kajian hukum yang diperlukan ialah kajian hukum ekonomi dan kajian hukum bisnis yang dipadukan dengan prinsip prinsip Islam. Dengan demikian, diharapkan hukum ekonomi/hukum bisnis, pada hakikatnya juga selalu dapat dan mampu berkembang sesuai kebutuhan jaman.
Eksistensi Lembaga Keuangan Syari’ah dalam Tatanan Hukum Nasional
Di Indonesia pendirian bank Syari’ah dengan prinsip bagi hasil tersebut sudah sejak lama dicita-citakan oleh umat Islam. Hal itu antara lain terungkap dalam Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang diadakan di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1968. dalam poin nomor 4 diputuskan, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyarankan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mengusahakan terwujudnya konsepsi sistem perekonomian, khususnya lembaga perbankan yang sesuai dengan kaidah Islam.
Eksistensi bank Syari’ah di Indonesia secara formal dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Namun, harus diakui bahwa UU tersebut belum memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank Syari’ah karena masih menggunakan stilah bank bagi hasil. Pengertian bank bagi hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupan pengertian bank Syari’ah yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank Syari’ah , maka hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank Syari’ah.
Amandemen terhadap UU No. 7 Tahun 1992 yang melahirkan UU No. 10 Tahun 1998 yang secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah . Kemudian, UU No. 23 Tahun 1999 tetang Bank Indonesia juga menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip Syari’ah . Kemudian UU tersebut telah mengamanatkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional bank Syari’ah sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan Syari’ah di Indonesia, yaitu dengan diterbitkannya sejumlah ketentuan operasional dalam bentuk SK. Direksi BI/Peraturan Bank Indonesia. Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan dual banking system di Indonesia, yaitu adanya dua sistem perbankan (konvensional dan Syari’ah ) secara berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat yang pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan perundangundangan yang berlaku. Dalam upaya pengembangan perbankan Syari’ah tersebut disadari masih terdapat sejumlah permasmasalahan. Lengkapnya peraturan dan infrastruktur saja belum cukup untuk menjamin suksesnya bank Syari’ah dalam mendekatkan sektor riil. Sejumlah permasalahan lain masih ditemukan dalam upaya pengembangan perbankan Syari’ah ,
misalnya relatif rendahnya pemahaman masyarakat terhadap operasional perbankan Syari’ah dan terbatasnya tenaga ahli perbankan Syari’ah berpengaruh terhadap potensi permintaan dan penawaran. Di samping itu, relatif terbatasnya jaringan kantor bank Syari’ah menyebabkan masih terbatasnya jangkauan bank Syari’ah dalam melayani masyarakat. Keberadaan institusi-institusi pendukung agar perbankan Syari’ah dapat beroperasi secara optimal juga dirasakan belum memadai. Di lain pihak, sejumlah isu yang berkaitan dengan perkembangan teknologi dan inovasi ragam produk bank Syari’ah memerlukan pengaturan yang memadai agar stabilitas sistem perbankan Syari’ah dapat terwujud.
Namun demikian berdasarkan penyelidikan bahwa bank-bank Islam telah dapat mngembangkan dananya seperti bank konvensional umumnya. Bank-bank Islam itu telah menjadi penampung dana dan penyalur dana-dana umat Islam baik untuk kepentingan yang berhubungan dengan ibadah seperti dana dari zakat, infak, dan shadaqah maupun muamalah seperti simpanan wadi‟ah dan mu«arabah. Data yang berhasil dikumpulkan ternyata bahwa 26 dari 32 bank merupakan bank yang sehat dan untung. Delapan belas di antaranya secara tetap membagikan keuntungan kepada para penyimpan dana. Hasil atas investasi bagi dipositor berkisar antara 3 s.d 24 persen sedangka hasil atas investasibagi pemegang saham berkisar 0 s.d 98 persen.33
Jadi dapat dipahami bahwa keberadaan bank Syari’ah di Indonesia sejak tahun 1992 UU No. 7 tentang perbankan. Akan tetapi bank Syari’ah di anggap lebih sempurna dan telah nampak ciri khasnya sebagai bank Syari’ah setelah lahirnya UU No 10 tahun 1998. Menurut Muslimin H. Kara bahwa Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 ini dikeluarkan sebagai periode kedua perkembangan kebijakan perbankan Islam di Indonesia, yang cukup berdampak positif bagi perkembangan bank Islam. Undang tersebut sebagai amandemen UU No 7 tahun 1992. Kemudian didukung oleh UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia dapat mengendalikan sistem moneter berdasarkan prinsip Syari’ah , sehingga keberadaan bank Syari’ah berkembang semakin pesat. Di mana UU tersebut memperbolehkan juga bank konvensional membuka sistem Syari’ah. Dengan lahirnya bank Syari’ah yang beroperasi berdasarkan sistem bagi hasil sebagai alternatif pengganti bunga pada bank konvensional, merupakan peluang bagi umat Islam untuk memanfaatkan jasa bank seoptimal mungkin. Merupakan peluang karena umat Islam akan berhubungan perbankan dengan tenang, tanpa keraguan dan didasari oleh motivasi keagamaan yang kuat di dalam memobilisasi dana masyarakat untuk pembiayaan pembagunan ekonomi umat. Peluang tersebut tidak hanya dirasakan umat Islam saja, tetapi juga oleh umat non muslim, karena bank Syari’ah dinilai terbukti mampu menjadi sarana penunjang pembangunan ekonomi yang handal dan dapat beroperasi secara sehat, karena di dalam operasinya terkandung misi kebersamaan antara nasabah dengan bank. Selain itu bank Syari’ah dinilai mampu hidup berdampingan secara serasi dan kompetisi secara sehat dan wajar dengan bank-bank konvensional yang telah ada, karena bank Syari’ah tidak bersifat ekslusif untuk umat Islam saja, tetapi tidak ada larangan bagi umat non muslim untuk melakukan hubungan dengan bank Syari’ah . Bahkan pengelolaannya pun bisa dilakukan oleh orang-orang non muslim, seperti yang terjadi pada bank Syari’ah di London, Luxemburg, switzerland dan bank-bank asing di Pakistan.
Kedudukan bank Syari’ah dalam sistem perbankan nasional mendapat pijakan yang kukuh setelah adanya deregulasi sektor perbankan pada tahun 1983. dengan deregulasi sektor perbankan tersebut, kepada lembaga keuangan bank diberikan keleluasaan, termasuk dalam hal penentuan tingkat suku bunga (hingga nol persen) bahkan peniadaan bungan sekaligus. Deregulasi tersebut baru dapat dimanfaatkan setelah keluarnya paket Oktober (Pakto) 1988. dalam pakto tersebut diperkenankan untuk mendirikan bank-bank baru.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melihat realita di Indonesia, masuknya unsur Islam (ekonomi Syari’ah) dalam cita hukum ekonomi Indonesia, bukan berarti mengarahkan ekonomi nasional ke arah ideologi ekonomi agama tertentu, tetapi dikarenakan ekonomi syari’ah sudah lama hidup dan berkembang tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia. Sistem ekonomi syari’ah adalah salah satu dari sistem-sistem ekonomi lainnya seperti kapitalisme dan sosialisme. Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam perspektif konstitusi ekonomi, kita tidak perlu terjebak dalam diskusi mengenai idiologi ekonomi. Ekonomi Syari’ah keberadaannya mempunyai landasan yang kuat baik secara formal maupun formal konstitiusi. Secara formal Syar’i, keberadaan ekonomi Syari’ah mempunyai landasan dalil yang kuat. Dalam konteks negara, ekonomi Syari’ah mempunyai landasan konstitusioanal.
Sistem Ekonomi Syari’ah pada suatu sisi dan Hukum Ekonomi Syari’ah pada sisi lain menjadi permasalahan yang harus dibangun berdasarkan amanah UU di Indonesia. Untuk membangun Sistem Ekonomi Syari’ah diperlukan kemauan masyarakat untuk melaksanakan ketentuanketentuan Fiqih di bidang ekonomi, sedangkan untuk membangun Hukum Ekonomi Syari’ah diperlukan kemauan politik untuk mengadopsi hukum Fiqih dengan penyesuaian terhadap situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Adopsi yang demikian harus merupakan ijtihad para fukoha, ulama dan pemerintah, sehingga hukum bisa bersifat memaksa sebagai hukum.
*) Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Nusantara (UNINUS
) Bandung.
Daftar Pustaka
Kenali 8 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional, admin CIMB Niaga, 2024, dilansir dari laman web: https://www.cimbniaga.co.id/id/inspirasi/perencanaan/mengenal-perbedaan-bank-syariah-dan-bank-konvensional
- Eksistensi dan Penerapan Hukum Islam dalam Hukum Positif di Indonesia , Ari Wirya Dinata, 2021, dilansir dari Laman Web:https://www.hukumonline.com/klinik/a/eksistensi-dan-penerapan-hukum-islam-dalam-hukum-positif-di-indonesia-lt6009164ba452d/
- Penegakan Hukum Ekonomi Syari’ah Di Indonesia, Fajar Hernawan, 2021, dilansir dari laman web : https://pa-cianjur.go.id/artikel/880-penegakan-hukum-ekonomi-syari-ah-di-indonesia.html
- Sejarah Perbankan Syariah, Admin OJK, 2024, dilansir dari laman web : https://ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-syariah/pages/sejarah-perbankan-syariah.aspx